*JAKARTA* – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo dan dosen pascasarjana program doktor ilmu hukum (S3) Fakultas Hukum Universitas Trisakti menuturkan bahwa hukum dari suatu negara pada hakikatnya terdiri dari himpunan gagasan (ideas) atau pemikiran mengenai perilaku manusia yang didasarkan pada suatu cita hukum (rechtsidee) seperti yang tertera dalam pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD NRI 1945. Termasuk pilihan bentuk negara, apakah Monarki, Tirani, Aristokrasi, Oligarki, Politeia atau Demokrasi.
“Indonesia adalah negara demokrasi berbentuk republik Kesatuan bersusun tunggal (unitarian), tidak bersusun jamak, memiliki Parlemen. Daerah dibentuk dan diberikan otonomi, desentralisasi, dan dekonsentrasi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Semboyan Bhineka Tunggal Ika,” ujar Bamsoet saat memberikan kuliah Filsafat Hukum Tata Negara program doktor(S3) Fakultas Hukum Universitas Trisakti secara daring di Jakarta, Sabtu (18/5/24).
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan memaparkan, Indonesia adalah negara demokrasi dan negara hukum menganut kontrak atau
bersifat langsung. Namun tidak seperti ajaran Hobbes, dimana rakyat langsung menyerankan dan melepaskan haknya
atau kemerdakaanya kepada penguasa secara mutlak, tetapi melalui pemilu sebagai mekanisme kontrak sosial dengan pembatasan kurun waktu kekuasaan.
“Indonesia menganut teori dan praktik kedaulatan rakyat sebagaimana terdapat dalam
UUD tahun 1945 dimana konstitusi negara mengatur prinsip pembagian kekuasan bukan pemisahan kekuasaan sebagaimana teori Montesquieu. Bentuk negara hukum ini terlihat pada adanya pembagian kekuasaan di pusat dan daerah provinsi, kabupaten/kota serta
diselenggarakannya Pemilu pada setiap lima tahun memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Presiden/Wakil Presiden secara langsung. Indonesia selain mengenal cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, juga terdapat
badan/lembaga/komisi yang sifatnya independen yang berada langsung di bawah
presiden dan independen yang dinamakan sebagai state auxiliary bodies. Dimana pembagian kekuasaan dipraktikkan sebagai perimbangan kekuasaan atau checks and balances,” ujar Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD ini menekankan bahwa hukum harus adaptif terhadap dinamika zaman dan laju peradaban. Karena suatu norma hukum yang diinterpretasikan dan diterapkan pada hari ini bisa jadi akan dimaknai berbeda pada 30 atau 50 tahun ke depan. Norma hukum yang dianggap ideal pada hari ini, bisa jadi dipandang memiliki banyak celah di masa depan, sehingga harus disesuaikan, direvisi atau bahkan diganti.
“UUD 1945 juga memperingatkan untuk memperhatikan perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian UUD 1945 bersifat dinamis dan tidak berifat tertutup, Artinya. dalam rangka pelaksanaan atau aplikasinya, UUD 1945 terbuka bagi perkembangan atau terbuka bagi pemikiran dan berbagai teori baru,” jelas Bamsoet.
Dosen pascasarjana program doktor ilmu hukum Universitas Borobudur, Universitas Pertahanan (UNHAN) dan Universitas Jayabaya ini menegaskan, masyarakat Indonesia tidak homogen, tetapi bersitat mutiras dan multietnik, sehingga sangat majemuk. Walaupun demikian mereka adalah satu heluarga besar yang disebut bangsa Indonesia. Bhineka tunggal ika, berbeda tetapi satu.
“Jadi, bangsa Indonesia tidak menganut dialektikanya George Withelm Friedrich Hegel yang melebur antinomi-antinomi menjadi suatu sintesa, letapi lebih condong kepada dialektikanya Jean Pierre Proudhon yang mengkompromikan atau menyeimbangkan antinomi-antimoni itu. Sehingga dapat hidup berdampingan dengan segala perbedaan dan persamaannya,” pungkas Bamsoet.