*JAKARTA* – Anggota Komisi III DPR RI sekaligus Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Borobudur Bambang Soesatyo menegaskan perlu pembaharuan pengaturan kepemilikan senjata api, mengingat kepemilikan senjata api saat ini diatur dalam Undang-Undang Darurat RI No.12/1951 sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Sehingga perlu dilakukan pembaharuan, khususnya terkait pengaturan kepemilikan, penggunaan, hingga penegakan hukumnya.
“Perubahan Undang-Undang Darurat RI No.12/1951 sangat penting agar didalamnya juga memuat ketentuan yang bersifat khusus dan spesifik tentang hak dan kewajiban pemilik senjata api. Termasuk tentang tata cara penggunaan dan mekanisme penegakan etika dan pengawasan terhadap pemilik izin khusus senjata api bela diri,” ujar Bamsoet saar menjadi co-Promotor dan penguji dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor Ilmu Hukum Agusetiawan, dengan judul penelitian ‘Rekonstruksi Penegakan Hukum Pidana Dalam Pemidanaan Penyalahgunaan Kepemilikan Dan Penggunaan Senjata Api’ di kampus Universitas Borobudur, Jakarta, Selasa (19/11/24)
Turut hadir para penguji lainnya antara lain Rektor Universitas Borobudur Prof. Bambang Bernanthos, Direktur Pascasarjana sekaligus Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur Prof. Faisal Santiago, serta Promotor Prof. Dr. Suparji Ahmad. Hadir pula para penguji lainnya yakni Prof. Henny Nuraeni dan Suhardi Somomoeljono.
Ketua MPR RI ke-15 dan Ketua DPR RI ke-20 serta mantan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 ini memaparkan, peraturan perundang terkait senjata api saat ini masih diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948, Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, dan Perpu Nomor 20 Tahun 1960. Peraturan turunan dari berbagai undang-undang tentang senjata api tersebut adalah Peraturan Kepolisian Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perizinan, Pengawasan, dan Pengendalian Senjata Standar Polri, Senjata Nonorganik TNI/Polri, Termasuk Peralatan Keamanan yang Digolongkan Senjata Api.
“Warga sipil diperbolehkan memiliki senjata api untuk beladiri, baik demi keselamatan nyawa, harta, dan kehormatan diri sendiri atau orang lain. Namun, hingga kini belum ada ketentuan lebih lanjut mengenai teknis penggunaan dari kepemilikan ijin khusus senjata api bela diri (Ikhsa). Akibatnya, menyebabkan kerancuan, multitafsir, bahkan salah tafsir dari berbagai pihak. Baik dari sisi pemilik Ikhsa maupun dari sisi kepolisian. Karenanya, perlu revisi UU Darurat No 12 tahun 1951 dan keberadaan PP juga bisa untuk menghindari kriminalisasi terhadap pemilik Ikhsa,” kata Bamsoet.
Ketua Umum Perkumpulan Pemilik Izin Khusus Senjata Api Bela Diri (Perikhsa) dan Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menambahkan, jumlah pemilik izin khusus senjata api bela diri di Indonesia diperkirakan mencapai 27 ribu orang. DPP Perikhsa beberapa waktu lalu telah menyerahkan rancangan naskah akademik PP tentang Perizinan Senjata Api Beladiri Sipil Non-Organik TNI/Polri kepada Kementerian Hukum dan HAM. Naskah akademik untuk revisi Undang-Undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 juga sudah disiapkan. Diharapkan rancangan tersebut bisa diajukan menjadi RUU inisiatif DPR pada periode 2024-2029.
“Perlu adanya ketentuan lebih lanjut tentang teknis kapan seorang pemilik izin khusus senjata api beladiri bisa menggunakan senjata apinya, serta seperti apa tahapan penggunaannya misal dikokang, diarahkan, atau ditembak ke atas sebagai peringatan sampai saat ini belum ada. Begitupun dalam hal penegakan hukum, penggunaan senjata untuk tindakan peringatan terlebih dahulu dengan tembakan peluru hampa/kosong, peluru karet, hingga mengunakan peluru tajam,” pungkas Bamsoet. (*)