Surat Terbuka untuk Menteri Perumahan dan Pemukiman Indonesia

oleh Arvindo Noviar

Pak Menteri yang terhormat,

Terima kasih telah membuktikan bahwa negeri ini tak pernah kehabisan ide—bahkan untuk menyempitkan hidup rakyat miskin hingga bisa dilipat seperti kertas origami.

Di tanah seluas ini, di bawah langit selebar ini, Bapak datang membawa konsep rumah 25 meter persegi—yang nyatanya hanya menyisakan 18 meter untuk benar-benar berpijak. Sebuah angka yang, jika bisa berbicara, mungkin akan menangis malu atas sempitnya martabat yang harus ia tampung.

Mungkin, dalam benak Bapak, 18 meter persegi adalah cukup. Cukup untuk tidur, cukup untuk bertahan hidup, cukup untuk diam. Tapi sayangnya, rakyat tidak hidup hanya untuk tidur dan diam. Mereka ingin bernapas, membesarkan anak, menata hari, dan bermimpi. Tapi bagaimana bisa mimpi berkembang, jika ia harus dilipat dan disimpan di dalam laci karena tak cukup ruang untuk dibentangkan?

Kami tidak tahu apakah usulan ini lahir dari studi yang serius, atau dari penggaris dan kalkulator dingin yang tak pernah menyentuh lantai tanah. Barangkali rumah 18 meter persegi itu terlihat manusiawi—jika dilihat dari rumah para konglomerat yang kerap bertamu ke rumah Bapak. Tapi coba cicipi panasnya siang dalam ruangan tanpa ventilasi yang layak, Pak. Rasakan sempitnya ruang yang hanya cukup untuk satu mimpi kecil—dan bahkan itu pun harus dipotong jadi dua.

Bapak bilang ini solusi. Tapi bukankah solusi semestinya mengurangi masalah, bukan menciptakan bentuk baru dari penderitaan lama? Kalau sekadar ingin memberikan rumah sempit, mengapa tidak sekalian beri kotak kardus? Lebih murah, lebih fleksibel, dan sama-sama sesak, tapi setidaknya mereka tidak perlu mencicil angsuran.

Rumah adalah tempat awal kehidupan. Tapi dalam versi Bapak, rumah lebih menyerupai sarang burung: kecil, ringkih, dan hanya muat untuk bertahan. Bukan untuk tumbuh. Apakah anak-anak bangsa harus belajar merangkak di antara dinding yang saling bersentuhan, dan mengira itu normal? Apakah orang tua harus belajar mengecilkan tubuh dan harga diri demi disebut “telah memiliki rumah”?

Kami mengerti, Bapak ingin membantu. Tapi janganlah bantuan datang dalam bentuk jeratan baru. Jangan biarkan rakyat kecil merasa bersalah karena berani bermimpi lebih luas dari 18 meter persegi.

Bapak Menteri, di bawah Presiden Prabowo, harapan rakyat mulai tumbuh dengan rindang, seperti pohon yang menjanjikan teduh dan naungan. Namun Bapak tampak sibuk mengkerdilkan mimpi itu dengan ukuran sempit, yang nyaris hanya layak untuk sauna.

Rumah bukan angka di denah, tapi ruang untuk tawa, napas, dan hidup. Jangan biarkan kebijakan Bapak jadi penjara tanpa jeruji, yang merenggut martabat rakyat. Jagalah amanah demi kehormatan pemimpin kita bersama.

Pak Menteri, ini bukan sekadar soal angka. Ini soal wibawa negara di hadapan rakyatnya. Apakah kita masih mampu memberi ruang yang pantas bagi manusia, ataukah kita hanya mampu membungkus kemiskinan dengan label “subsidisi”?

Jika rumah adalah awal kehidupan, maka janganlah kita memulainya dengan penyempitan. Jika mimpi adalah hak semua rakyat, maka janganlah kita membangunnya di ruang yang bahkan cahaya pun enggan mampir.

Dan jika menurut Bapak 18 meter persegi sudah cukup untuk hidup layak, barangkali yang perlu direvisi bukan denah rumahnya—tapi cara Bapak membedakan antara menampung manusia dan menumpuk barang.

Pos terkait