Silfester vs Soenarko: Menguji Etika di Ruang Publik

 

Oleh Arvindo Noviar

Ucapan Silfester Matutina terhadap Mayjen (Purn) Soenarko tidak dapat dibenarkan. Dalam video yang beredar luas, Silfester menyebut Soenarko dengan istilah “hei kumis tebal” disertai nada mengancam yang menyerempet penghinaan pribadi. Ini adalah bentuk ad hominem, serangan terhadap fisik dan identitas yang menjauh dari substansi. Kritik semacam ini mencederai prinsip debat publik yang sehat. Demokrasi hanya tumbuh dalam adu gagasan, bukan dalam cemoohan.

Namun kekeliruan Silfester tidak bisa dijadikan tameng untuk mengabaikan tanggung jawab Soenarko sebagai tokoh publik. Ia bukan warga biasa. Ia adalah purnawirawan jenderal dengan sejarah panjang dan pengaruh simbolik yang besar. Ketika ia tampil ke ruang publik mendorong narasi pemakzulan Wapres Gibran, ia sedang memainkan peran politik yang tidak bisa dilepaskan dari bobot etis dan konstitusional. Ia bukan sekadar berpendapat, ia sedang membentuk tekanan.

Saya, bersama 96 juta pemilih Prabowo–Gibran, berdiri secara diametral dengan manuver politik yang dimainkan oleh Soenarko dan kelompoknya. Pemilu telah selesai. Rakyat telah memilih. Mandat telah diberikan. Maka segala bentuk upaya pemakzulan yang tidak berpijak pada prinsip hukum dan fakta yang sah adalah pengingkaran terhadap kehendak rakyat. Demokrasi bukan hanya soal menang dan kalah, tetapi soal menghormati proses yang telah dilalui bersama.

Kami memahami bahwa Soenarko adalah pendukung salah satu pasangan calon dalam Pilpres 2024. Itu hak politik. Namun setelah pemilu berakhir, arah republik tidak boleh dibajak oleh kekecewaan personal. Pemakzulan tidak bisa dijadikan pelampiasan karena hasil tidak sesuai harapan. Ini bukan semata persoalan politik, ini soal kematangan berdemokrasi.

Kami juga menolak segala bentuk kekerasan dan ancaman terhadap siapa pun, termasuk terhadap Silfester. Kritik terhadapnya dapat disampaikan secara beradab. Tetapi mari kita jujur menelusuri sebab. Kegaduhan ini bermula bukan dari candaan kasar semata, tetapi dari manuver politik yang menciptakan ketegangan yang tak perlu. Maka jika kita ingin membenahi demokrasi, kita harus memulai dari cara kita menjaga ruang publik.

Dalam republik, tidak ada tokoh yang kebal kritik. Tidak ada nama besar yang membebaskan seseorang dari tanggung jawab etis. Militer aktif tunduk pada garis komando. Purnawirawan tunduk pada akal sehat publik. Republik ini hanya akan bertahan bila jarak antara kekuasaan sipil dan simbol militer dijaga dengan penuh kesadaran.

Republik ini harus dijaga dengan nalar yang sehat dan prinsip yang terang. Bila nalar itu tumbang, yang tersisa bukan demokrasi, melainkan hirarki kuasa yang lahir dari rasa memiliki yang berlebihan atas negara yang sejatinya milik bersama, dibangun bersama, dan dipertanggungjawabkan bersama.

Pos terkait