Ringkasan Manipol Kerakyatan

 

Oleh Arvindo Noviar

Negara ini tidak dibentuk dalam ruang perenungan bersama rakyat, melainkan dalam situasi yang mendesak dan terburu-buru. Kemerdekaan memang direbut, tetapi bentuk hidup bernegara tidak dibangun melalui musyawarah rakyat yang sadar akan makna kemerdekaan. Yang dihentikan adalah penjajahan fisik, sementara cara berpikir kolonial tetap diabadikan dalam undang-undang, dalam mekanisme birokrasi, dan dalam watak kekuasaan yang lebih memilih mengatur daripada mendengar. Negara disahkan sebelum rakyat berkesempatan menyusun makna keadilan secara setara. Maka yang terbentuk bukan republik yang berpijak pada kehendak kolektif, melainkan bangunan administratif yang sah secara prosedural tetapi kosong secara legitimasi sosial.

Struktur pemerintahan yang diambil dari kolonialisme tidak pernah dibongkar dari akarnya. Sistem birokrasi, perangkat hukum, dan pola relasi antara penguasa dan rakyat tetap dijalankan dalam logika ketertiban, bukan keadilan. Rakyat tidak menjadi pengambil keputusan, melainkan objek yang harus menyesuaikan diri dengan kerangka aturan yang mereka tidak pernah ikut rumuskan. Negara tidak tumbuh dari kepercayaan yang dibangun bersama rakyat, tetapi dari sistem kontrol yang dipaksakan dari atas. Maka birokrasi tidak pernah benar-benar menjadi alat pengabdian, melainkan menjadi instrumen kekuasaan yang kering dari empati dan terputus dari kenyataan sosial yang seharusnya ia layani.

Demokrasi dijalankan sebagai prosedur tanpa kesadaran. Pemilu lima tahunan diselenggarakan seperti ritus yang kehilangan makna. Sistem perwakilan tidak pernah dirancang untuk memberdayakan suara rakyat, tetapi untuk menyerapnya ke dalam logika modal dan kalkulasi elektoral. Kampanye menjadi ajang pengemasan citra, bukan forum pertarungan gagasan. Rakyat dijadikan ladang suara, bukan subjek yang menentukan arah kebijakan. Demokrasi dipentaskan di atas panggung administrasi, sementara rakyat diseret ke pinggir sebagai penonton yang hanya diminta hadir, bukan diajak berbicara. Dalam sistem ini, kedaulatan tidak mengalir dari bawah ke atas, melainkan digantung di udara oleh segelintir elit yang merasa mewakili suara yang tak pernah mereka dengarkan.

Ekonomi dikelola dengan paradigma pertumbuhan yang menyingkirkan keadilan. Ukuran pembangunan dibatasi oleh angka-angka makro yang tidak pernah mengukur apakah kehidupan rakyat di pinggiran turut membaik. Ketimpangan diterima sebagai risiko yang harus dibayar demi pertumbuhan, padahal ia merupakan akibat langsung dari model ekonomi yang mengabaikan pemerataan. Tanah dikuasai oleh korporasi besar, air dikelola untuk kepentingan investasi, dan tenaga rakyat diserap dalam sistem produksi global tanpa perlindungan. Negara memilih peran sebagai fasilitator pasar, bukan pelindung hak hidup. Maka yang tumbuh bukan kemakmuran rakyat, tetapi akumulasi kekayaan yang terkonsentrasi pada segelintir kelompok di pusat kekuasaan.

Modernisasi dijalankan tanpa pijakan nilai yang kuat. Manusia diperlakukan sebagai obyek pembangunan, bukan subjek yang menentukan arah perubahan. Infrastruktur dibangun dengan kecepatan tinggi tanpa mendengarkan kebutuhan lokal. Kota dibesarkan dengan segala fasilitasnya, sementara desa dibiarkan menyusut. Jalan tol melesat menembus bukit, tetapi sawah-sawah rakyat menghilang. Sekolah dan rumah sakit ditambah jumlahnya, namun tetap dikelola dalam kerangka pelayanan elitis yang jauh dari rakyat. Dalam wajah modernitas seperti ini, yang hadir bukan kemajuan, melainkan keterasingan. Rakyat tidak turut serta dalam arah perubahan, melainkan hanya diminta menerima konsekuensinya.

Kesenjangan antara kota dan desa adalah hasil dari desain pembangunan yang tidak adil secara spasial. Kota diberi peran sebagai pusat keputusan, pusat distribusi anggaran, dan pusat proyek strategis. Sementara desa dijadikan penyedia tenaga, sumber daya, dan tempat pelepasan eksternalitas kebijakan. Dana pembangunan tidak dialirkan berdasarkan kebutuhan yang adil, tetapi mengikuti logika pasar yang mengutamakan keuntungan. Maka desa tidak sekadar tertinggal karena kurang sumber daya, tetapi ditinggalkan karena tidak dimasukkan dalam rencana pembangunan yang adil. Mereka yang hidup di desa harus menerima layanan dasar yang minim, infrastruktur yang terbatas, dan kebijakan yang tidak memahami kenyataan kehidupan mereka.

Distribusi anggaran lebih sering mencerminkan konsentrasi kekuasaan fiskal daripada alat pemerataan. Desentralisasi dijanjikan, tetapi kontrol tetap berada di pusat. Dana transfer ke daerah tidak selalu diarahkan kepada wilayah tertinggal, melainkan kepada wilayah yang dinilai strategis oleh kepentingan pasar. Ketika anggaran dijalankan tanpa keberpihakan, maka ketimpangan tidak hanya dibiarkan terjadi, tetapi dilembagakan melalui sistem yang sah secara hukum. Keadilan wilayah menjadi jargon dalam pidato, bukan prioritas dalam perencanaan. Maka pembangunan tidak menyembuhkan luka ketimpangan, tetapi menambalnya dengan proyek-proyek simbolik yang tak menyentuh akar persoalan.

Birokrasi, yang seharusnya menjadi tulang punggung pelayanan publik, dijalankan dengan logika teknokratis yang mengabdi pada hirarki kekuasaan, bukan pada kebutuhan rakyat. Reformasi birokrasi dikerdilkan menjadi sekadar penataan administratif dan pengukuran kinerja individual, tanpa menyentuh pertanyaan mendasar: kepada siapa birokrasi harus bertanggung jawab. Maka muncullah aparatur negara yang taat pada aturan, tetapi tuli terhadap penderitaan. Jabatan dianggap sebagai tangga karier, bukan sebagai amanah sosial. Kantor-kantor pemerintahan menjauh dari denyut kehidupan rakyat, dan prosedur pelayanan lebih menekankan ketertiban daripada rasa hormat kepada warga yang dilayani.

Hubungan antara rakyat dan negara terputus dalam komunikasi dan kepercayaan. Tidak ada ruang percakapan yang setara. Musyawarah digantikan oleh konsultasi palsu yang dijalankan untuk memenuhi formalitas. Kebijakan publik disusun dengan bahasa statistik, namun mengabaikan rasa, pengalaman, dan kebutuhan rakyat yang nyata. Proses perumusan kebijakan dikendalikan oleh teknokrat dan konsultan yang lebih fasih berbicara tentang efisiensi fiskal daripada keberpihakan sosial. Dalam situasi seperti ini, rakyat kehilangan tempat dalam proses pengambilan keputusan. Negara kehilangan wajahnya sebagai alat emansipasi dan berubah menjadi mesin administratif yang asing bagi rakyatnya sendiri.

Krisis yang kita hadapi hari ini bukan sekadar kebuntuan kebijakan, tetapi kebingungan arah sejarah. Negara bergerak dalam lintasan yang tidak pernah diuji ulang secara demokratis. Politik kehilangan akarnya sebagai tanggung jawab moral, ekonomi kehilangan logika distribusinya, dan birokrasi kehilangan jiwa pelayanannya. Maka jawaban yang dibutuhkan bukan perbaikan teknis, melainkan rekonstruksi total. Kita membutuhkan keberanian untuk berpikir ulang, mengorganisasi ulang, dan menyusun kembali seluruh bangunan kehidupan publik berdasarkan keberpihakan kepada rakyat sebagai subjek sejarah.

Politik harus dibebaskan dari cengkeraman kontestasi modal dan dikembalikan kepada rakyat sebagai ruang tanggung jawab bersama. Ia bukan aritmatika kekuasaan, tetapi etika hidup bersama. Politik sejati bukan tentang menang atau kalah, tetapi tentang berani berpihak kepada yang terpinggirkan. Dalam situasi krisis, hanya politik yang lahir dari etika publik yang dapat memulihkan kepercayaan rakyat. Politik tidak boleh lagi dijalankan sebagai profesi yang menguntungkan, tetapi sebagai pengabdian yang berani menolak transaksi dan kesepakatan palsu yang mengorbankan masa depan republik.

Organisasi politik harus menjadi sekolah kesadaran, bukan sekadar alat elektoral. Ia harus mencetak kader yang berpikir tajam, merasa dalam, dan bertindak dengan keberanian sosial. Kaderisasi bukan soal manajemen struktur, melainkan proses pembentukan manusia yang mampu membaca sejarah dan mengorganisir rakyat. Organisasi sejati adalah tempat lahirnya ide, pelatihan solidaritas, dan uji kebenaran dalam kenyataan sosial. Di tengah kebisingan opini dan banjir informasi, organisasi harus menjadi ruang berpikir yang teguh dan hidup, tempat kebenaran dibentuk melalui pengalaman kolektif yang teruji.

Ekonomi rakyat tidak boleh direduksi menjadi program bantuan atau kebijakan karitas. Ia harus dibangun sebagai sistem produksi yang adil, demokratis, dan dikendalikan oleh rakyat sendiri. Koperasi produksi harus menjadi tulang punggung ekonomi rakyat. Negara tidak boleh terus-menerus melayani kepentingan pasar, melainkan harus menjalankan peran redistributifnya. Aset negara harus dimanfaatkan untuk membangun kapasitas rakyat, bukan dilepas ke tangan swasta demi memenuhi target investasi. Dalam sistem ekonomi yang adil, kekayaan tidak boleh hanya terkumpul di pusat, melainkan harus disebar melalui struktur yang dikelola secara kolektif dan berkelanjutan.

Distribusi harus menjadi jantung dari kebijakan ekonomi. Tanpa distribusi, pertumbuhan hanya melanggengkan ketimpangan. Negara harus berani membongkar struktur ekonomi yang memusatkan keuntungan dan merampas tenaga rakyat. Redistribusi tanah, kredit, dan pengetahuan harus dijalankan dengan keberanian moral dan rencana yang jelas. Koperasi, BUMDes, dan usaha rakyat harus dilindungi secara fiskal dan hukum. Negara harus berpihak kepada produsen kecil, petani, nelayan, dan buruh. Ini bukan sekadar tuntutan ideologis, tetapi kebutuhan praktis untuk membangun sistem ekonomi yang tahan krisis dan berpijak pada partisipasi rakyat.

Kedaulatan sosial adalah fondasi sejati dari kehidupan yang merdeka. Tidak ada kebebasan tanpa kendali atas pangan, energi, dan pendidikan. Negara tidak boleh menyerahkan kebutuhan dasar kepada pasar. Pangan tidak boleh menjadi objek spekulasi, energi tidak boleh dikuasai kartel, dan pendidikan tidak boleh ditentukan oleh kelas sosial. Negara harus menjamin bahwa rakyat memiliki akses yang setara terhadap kebutuhan dasar, bukan karena daya beli, tetapi karena martabat. Dalam masyarakat yang adil, kehidupan dasar tidak dijadikan komoditas, melainkan hak yang dilindungi bersama.

Ekologi politik mengingatkan kita bahwa krisis lingkungan bukan hanya soal alam, tetapi soal distribusi dan kekuasaan. Pembangunan eksploitatif telah merusak daya dukung bumi dan menyingkirkan komunitas yang hidup dari tanahnya. Kita membutuhkan paradigma regeneratif, bukan hanya transisi energi. Wilayah adat harus dilindungi, praktik agroekologi harus didukung, dan setiap kebijakan pembangunan harus tunduk pada batas ekologis. Namun lebih dari itu, perjuangan ekologi harus menjadi bagian dari perjuangan sosial. Sebab bumi tidak bisa diselamatkan tanpa menyelamatkan rakyat yang hidup darinya.

Negara harus bertransformasi menjadi entitas etis. Ia tidak cukup dijalankan dengan aturan dan sistem, tetapi harus digerakkan oleh keberpihakan. Negara harus berpihak kepada yang tertindas, yang disingkirkan, dan yang disamarkan dalam statistik. Ia harus menolak netralitas palsu dan menjadi alat perjuangan kolektif. Kebijakan harus menjadi hasil dari musyawarah etis antara rakyat yang hidup dalam kenyataan dan pemerintah yang memikul tanggung jawab sejarah. Negara etis bukan utopia, melainkan tuntutan minimum dalam membangun republik yang adil.

Demokrasi deliberatif harus menjadi jalan pulang dari demokrasi yang dikooptasi prosedur. Demokrasi tidak boleh dibatasi pada bilik suara. Ia harus menjadi proses hidup untuk mendengar, berdialog, dan menyepakati arah hidup bersama. Musyawarah harus dihidupkan dari desa hingga pusat. Kebijakan harus dipertanggungjawabkan secara etis, bukan sekadar administratif. Demokrasi deliberatif tidak lambat, ia mendalam. Ia tidak mencari suara mayoritas, tetapi suara yang mendasar. Dalam sistem ini, suara rakyat tidak hanya dihitung, tetapi dihormati.

Kaderisasi transformatif adalah tugas yang tak bisa ditunda. Kita tidak hanya membutuhkan pemimpin baru, tetapi cara baru dalam memahami kekuasaan. Kader tidak boleh dilatih untuk memenangkan pemilu, tetapi untuk merawat republik. Ia harus mampu berpikir lintas disiplin, merasakan penderitaan rakyat, dan bergerak bersama mereka. Dalam dunia yang dipenuhi disinformasi dan kepasrahan, kader adalah penjaga arah sejarah, penjaga akal sehat kolektif, dan penghubung antara cita-cita dan realitas.

Republik ini tidak akan berubah tanpa kekuasaan rakyat dan kedaulatan negara. Perubahan tidak datang dari keluhuran elit, tetapi dari keberanian rakyat menyusun masa depan bersama. Yang kita perlukan bukan janji-janji besar, tetapi langkah-langkah terorganisir yang lahir dari kesadaran. Manipol Kerakyatan adalah panduan praksis untuk itu. Ia bukan sekadar dokumen ideologis, tetapi peta perjalanan untuk membangun republik yang benar-benar lahir dari bawah. Kini saatnya sejarah ditulis ulang oleh mereka yang selama ini ditinggalkan. Sebab hanya dengan cara itu, republik ini bisa tumbuh menjadi rumah bersama yang adil dan bermartabat.

Pos terkait