Oleh : Idat Mustari*
Negara disebut demokratis jika ada pesta demokrasi atau pemilihan Umum.Dengan kata lain tidak pernah ada demokrasi tanpa pemilihan umum (Pemilu). Melalui Pemilu rakyat selain memilih Presiden dan wakilnya yang disebut dengan akronim Pilpres (Pemilihan Presiden) juga memilih calon anggota DPRI dan DPRD yang disebut dengan Pileg (pemilihan legiaslatif). Meskipun biasanya pemilihan presiden dianggap lebih penting di mata rakyat dibandingankan pemilihan legislatif. Padahal pemilihan keduanya sama pentingnya.
Di pemilu legislatif ada sistem pemilu sebagai kerangka bagi proses dan disain pemilu dengan aneka macam tahapannya. Di Indonesia pernah menggunakan sistem proposional daftar tertutup dan terbuka.
Di era Orde Baru, penentuan calon legislatif menggunakan sistem proposional tertutup. Itu artiya pemilih (rakyat) menentukan pilihan dengan cara mencoblos tanda gambar partai. Partai politik memegang kekuasaan penuh untuk menentukan siapa di urutan nomor berapa di daerah pemilihan mana. Namanya juga sistem tertutup, artinya rakyat tidak tahu siapa yang akan jadi wakilnya di Gedung dewan. Di sistem ini tak perlu para calon legislatif blusukan memperkenalkan diri kepada rakyat.
Sejak runtuhnya era Orde baru, di pemilihan umum 1999 dan 2004, sistem pemilu mengalami perombakan total. Jumlah partai yang ikut pemilu mencapai 48 partai. Surat suara yang semula hanya mencantumkan gambar partai sekaligus daftar calon anggota legislatif.
Sistem pemilu 1999 dan 2004 disebut sistem semi—daftar terbuka. Nomor urut ditentukan oleh partai politik. Nomor urut jadi indicator jadi tidaknya seorang calon duduk di kursi dewan. Calon-calon yang berada di urutan jauh “nomor sepatu,” bisa saja terpilih tetapi harus bekerja keras merebut suara rakyat agar perolehan suaranya bisa memenuhi bilangan pembagi pemilih (BPP) dan tentu sangatlah sulit. Itu artinya penentuan siapa calon legislatif yang bakal jadi anggota legislatif masih berada dalam kekuasaan partai.
Sistem semi terbuka pun mengalami perubahan jadi sistem proposional daftar terbuka. Artinya yang terpilih jadi anggota legislatif adalah mereka yang memperoleh suara terbanyak, tak penting di nomor urut berapa. Di sistem ini kompetisi pun sangat kuat. Calon legislatif bukan saja bersaing dengan calon legislatif dari partai yang berbeda, tetapi juga dengan calon legislatif yang sama partainya.
Sistem proposional terbuka memberikan kesempatan bagi siapapun yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif tanpa harus jadi kader partai tahunan. Tentu saja yang sangat diuntungkan adalah mereka yang memliki popularitas, elektabilitas dan ‘isi tas’ meskipun minim kualitas.
Terdengar suara sayup-sayup dari KPU, untuk Pemilu Legislatif (Pileg) 2024 akan kembali ke sistem proposional tertutup. Jika ini benar terjadi,
maka para caleg tidak perlu memasang foto dirinya dengan berpose “manis” di baliho atau spanduk. Tak perlu buat kalender yang ada foto diri caleg. Dengan kata lain, tak perlu mempromosikan diri, tak perlu pasang-pasang gambar, tak perlu kumpulin orang-orang kemudian memperkenalkan diri sebagai caleg setelah bubar diberi amplop puluhan ribu, tak perlu semua itu. Yang diperlukan dekat-dekatlah dengan penguasa partai. So bagi para pemimpi jadi anggota legislatif maka sebaiknya tunggu sistem apa yang akan dilaksanakan di Pileg 2024. Selamat Menunggu
*Pemerhati Sosial dan Kebangsaan, Advokat