Oleh: Saiful Huda Ems.
Memperhatikan hasil survei periodik KOMPAS Mei 2023, responden yang mendukung Prabowo Subianto (PS) menjadi Capres R.I 2024 ada di kisaran 24,5 persen, Ganjar Pranowo (GP) 22,5 persen, sedangkan Anis Baswedan (AB) 13,6 persen. Lalu ada sekitar 14,4 persen responden survei KOMPAS tersebut yang mencalonkan tokoh-tokoh lainnya diluar ketiga tokoh tersebut. Dukungan publik itu menyebar ke 17 tokoh lainnya. Hasil survei dari lembaga-lembaga survei terpercaya pada akhir-akhir ini, memang banyak menunjukkan trend kenaikan untuk Prabowo, dan mungkin karena hal itu, Prabowo menjadi semakin percaya diri dan lupa bahwa ini masih dalam tahap pemanasan, pertarungan yang sesungguhnya belumlah dimulai.
Saya pribadi terus terang tidak mengerti, apakah ini sebuah trik strategi perang politik ala Sun Tzu (Biarkan Musuhmu Merasa Menang) yang sedang dimainkan oleh kubu Megawati dan Jokowi, yang ingin main kalem dulu dan biar musuh politik besarnya (baca: Prabowo) merasa di atas angin lalu dengan percaya diri penuh PS mencalonkan diri sebagai Capres kembali. Bukankah asyik sekali kalau saja Capres yang dipilih Mega dan Jokowi, yakni GP bertarung melawan Capres yang bolak balik kalah dan tidak pernah memiliki riwayat sebagai pemenang? Tarung di Militer lawan Wiranto di Tahun 1998 kalah, lalu dipecat dan kabur ke Yordania. Ikut Konvensi Capres Golkar 2004 kalah, bahkan nomer kontak Ketua-Ketua DPD Golkar yang punya suara di Konvensi Capres GOLKAR saat itu saja PS tidak tau, ikut nyalon sebagai Cawapresnya Megawati 2009 kalah, maju jadi Capres 2014 kalah dan maju lagi jadi Capres 2019 juga kalah. Maka sangat mudah sekali bagi GP nantinya mengalahkan PS di PILPRES 2024 bukan?.
Jika semua itu merupakan bagian dari trik strategi perangnya Megawati dan Jokowi, maka PS harus hati-hati, waspada dan tidak boleh gegabah. GP itu politisi ulung, kawakan yang sudah lama bertarung di pentas politik nasional. GP kemudian disembunyikan di Semarang, dan dijadikan Pemimpin Daerah dengan menjadi Gubernur Jateng. PS tidak boleh meremehkan kapasitas kependekaran politik GP, jika PS tidak ingin jatuh tersungkur untuk kesekian kalinya. GP itu Capres idaman generasi muda, kaum intelegensia, apalagi emak-emak. Bagi kaum perempuan, memandang GP itu bukan hanya sebagai sosok politisi tangguh semacam Barack Obama, melainkan juga tampan bak George Clooney. Disaat waktunya nanti tiba, kehadiran GP di berbagai event kampanye politik, pesertanya akan membludak mulai dari Tugu Monas Jakarta sampai Simpang Lima Semarang dan Tugu Pahlawan Surabaya tanpa putus !.
Namun percayalah, gengsi PS dan pendukung elite-elitenya itu besar sekali. Sekali PS Capres ya akan jadi Capres abadi. Tawaran Megawati dan Jokowi untuk menduetkan GP dan PS, akan terus ditolak PS, sampai nantinya menjelang penutupan pengajuan Capres di KPU mau ditutup dan PS baru sadar, bahwa selama ini pertarungan baru dalam tahap pemanasan, dan hasil survei dari lembaga-lembaga survei akan mulai mendekati kenyataan yang sesungguhnya, elektabilitas GP mulai meninggalkan jauh dari PS, GP akan mulai jauh di atas angin !. Begitulah nantinya yang akan terjadi ketika ribuan relawan GP sudah mulai tancap gas, dan Megawati serta Jokowi turun ke lapangan diikuti para ketua-ketua Parpol dan tokoh-tokoh masyarakat yang selama ini diam-diam selalu menanti instruksi Megawati dan Jokowi.
Di saat seperti itu, PS akan terbayang-bayang kegagalannya selama ini. Ego pribadi telah nyata menjadikannya meratapi kegagalan demi kegagalan yang tak berkesudahan. Di moment seperti itulah PS akan berpikir ulang, angkat tangan, menyerah dan mendatangi Megawati dan Jokowi untuk mengikuti nasehatnya: siap dijadikan Cawapresnya GP !. Namun apa dikata, Pintu Telah Ditutup, waktu untuk tawaran jadi Cawapresnya GP sudah habis, kesepakatan bersama untuk menduetkan GP dengan figur tertentu sudah finish, maka mau tidak mau PS terpaksa harus tetap Nyapres, bersanding dengan Sandiaga Uno (SU), agar kalau kalah lagi tidak terlalu tekor banyak. Kan mereka berdua bisa patungan 50:50%?. Lho, terus Anies Baswedan kemana, mau maju dengan siapa? Dengar-dengar, AB kemungkinan besar akan diduetkan dengan GP. Haaa? Kadrun, Kampret dan Cebong bisa murka dong?. Biarlah, mungkin ini sebuah ikhtiar untuk menyatukan kembali sebuah bangsa yang terbelah.
Bagaimana mungkin GP dan AB bisa disatukan, ini kan sama seperti mau menyatukan Rajawali dan Ular dalam satu kandang? Entahlah, yang jelas uji coba kerjasama dua figur ini sudah dijajaki sangat lama. Dengar punya dengar, team inti GP dan AB sudah lama bekerjasama, untuk menjajaki duet Pilpres 2024. Info yang sudah sangat lama saya ketahui ini memang membuat saya sempat berpikir lama, bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Apa kata dunia? Bagaimana wajah Indonesia ke depan jika GP harus berduet dengan AB memimpin Indonesia? Saya cemas, khawatir dengan apa yang terjadi di negeri ini kedepan, makanya kenapa selama beberapa tahun ini saya terus menerus menggempur AB agar rontok elektabilitasnya, dan tidak jadi berduet dengan GP. Ikhtiar teman-teman di lingkaran Mega, Jokowi dan GP itu memang baik, sangat baik dan mulia, karena niatnya ingin menyatukan kembali anak-anak bangsa yang terbelah, sebagai imbas pertarungan PILPRES 2014 dan 2019 serta PILKADA DKI Jakarta 2017.
Namun, kita juga boleh dong melakukan ikhtiar lainnya untuk menjaga dan melindungi Pancasila dan NKRI tercinta? Karena itu di berbagai seri opini politik yang saya tulis, saya mencoba untuk menyuguhkan nama figur yang lebih realistis untuk mendampingi GP. Dari unsur latar belakang Militer saya tawarkan Jenderal TNI (Purn.) Moeldoko, dan dari unsur latar belakang Sipil saya tawarkan R. Haidar Alwi. Mengapa harus Moeldoko? Karena saya khawatir, GP yang politisi Sipil akan diganggu nantinya oleh kalangan Militer sebagaimana Bung Karno dan Gus Dur. Ingat loh, yang dihadapi GP ini PS yang berlatar belakang Militer dan memiliki jaringan luas di Militer. Apalagi setelah PS jadi Menhan, haqul yakin akan banyak lagi pengaruhnya dari kalangan Militer. Jika PS ini tidak diimbangi oleh kekuatan dari unsur yang berlatar belakang Militer juga, maka GP akan “ngoyo” (kerja mati-matian) nantinya saat memimpin negara.
Di antara Jenderal TNI purnawirawan yang paling banyak didukung rakyat, dan yang terlihat dari hasil Musyawarah Rakyat (Musra) itu ya Moeldoko. Dan itu wajar, mengingat Moeldoko lebih senior, jauh lebih berpengalaman, berpengaruh dan populer daripada Jenderal-jenderal TNI purnawirawan lainnya. Kalau Jenderal-jenderal yang masih aktif di Militer kan haram hukumnya untuk ditarik-tarik ke ranah politik praktis bukan?. Lalu, R. Haidar Alwi itu tokoh Sipil yang sudah malang melintang di dunia pergerakan melawan radikalisme, terorisme dan intoleransi. Pengalamannya memanage perusahaan kontraktor dan pertambangan sudah teruji. Ahli dalam project management, analisis ekonomi pemeliharaan dan management sistem. Yang menarik dari semua itu, R. Haidar Alwi ini juga tokoh Nahdliyin yang sudah diakui sumbangsih besarnya untuk memajukan Nahdlatul Ulama (NU). Nah, daripada menduetkan GP dengan AB yang tak jelas ideologinya itu, jauh lebih mantap kalau GP diduetkan dengan Moeldoko atau R. Haidar Alwi bukan?.
Sejarah panjang perjuangan PDI atau PDIP, selalu menyatukan kekuatan Nasionalisme dan Islam. Islam kesayangannya PDIP itu dari dulu ya NU, dan siapa yang meragukan ke NU an Moeldoko yang dari Kediri itu? Siapa yang meragukan ke NU an R. Haidar Alwi yang dari Solo itu? Tidak ada yang meragukannya, karena dua-duanya sangat nampak jiwa kesantriannya. Lalu mengapa Megawati, Jokowi dan GP tidak memilih salah satu dari keduanya saja? Menyandingkan GP dengan AB memang berpotensi untuk mengikatkan kembali keretakan bangsa yang sudah lama menguras air mata nurani kita, namun jika kemudian setelah GP dan AB diduetkan dan menang, infiltrasi Wahabi Takfiri malah datang menerjang, maka NKRI akan segera bubar. Sangat beresiko sekali bukan pilihan ini? Maka tidak ada pilihan lain, selain harus menghindari resiko besar itu, entah dengan cara menduetkan GP dengan Moeldoko yang mantan Panglima TNI, atau dengan R. Haidar Alwi yang tokoh Anti Radikalisme Agama. Terserah saja, kami semua pada akhirnya akan ikuti Tiga Serangkai Tokoh Nasionalis Indonesia terkini saja: Ibu Megawati, Pak Jokowi dan Mas Ganjar Pranowo saja…(SHE).
28 Mei 2023.
Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer dan Pendiri Organisasi Keluarga Mahasiswa NU (KMNU).