Politik Anggaran dan Korupsi

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Jakarta – Politik Anggaran dan Korupsi selalu saja bikin keramaian, di medsos maupun media mainstream.

Kepala daerah maupun kementerian dan lembaga jadi aktor utamanya. Sebagai pelaku korupsi alias koruptor atau malah jadi pemberantas korupsi, walau yang terakhir ini sedikit jumlahnya.

Baru-baru ini Presiden Joko Widodo menyentil para aparatus dibawahnya soal penganggaran. Ya, mulai dari cara menganggarkannya (merencanakannya) saja sudah amburadul, bagaimana nanti pelaksanaan dan pertanggungjawabannya pasca-program.

Adagium manajemen bilang, “If you fail to plan then you plan to fail”. Kalau kamu gagal merencanakannya, maka kamu memang merencanakan untuk gagal.

Gagal sejak dari pemikiran. Wah gawat. Repotnya hal ini sudah tradisi katanya.

Soal anggaran daerah, ya peruntukannya yang utama adalah untuk membangun daerahnya dong. Bukan untuk rapat-rapat doang, berseliweran di lobby hotel-hotel ber-AC.

Sample kasus (contoh soal) yang diambil Presiden Joko Widodo baru-baru ini mungkin sekali sudah mewakili populasinya. Memang begitulah keadaannya di lapangan.

Ini ngomong apa sih?

Kemarin Jokowi geram karena melihat bagaimana para kepala daerah mengelola duit rakyat. Kebanyakan (sekitar 80%-nya) habis untuk keperluan rapat, perjalanan dinas, honor, program penguatan ini dan itu.

Pendeknya berbagai mata program yang absurd dan cuma berputar-putar di situ-situ saja.

Sedangkan yang untuk program prioritas atau utamanya cuma sekedarnya saja, hanya 20% dari anggaran. Itu tadi gambaran besarnya.

Ambil contoh deh, biar diskusinya mendarat.

Di suatu daerah (gak perlu disebut nama daerahnya, nanti baperan lagi) per tahun misalnya yang untuk pencegahan Stunting, dianggarkan Rp 10 miliar, coba dicek, dilihat betul untuk apa saja sih yang Rp 10 miliar itu.

Jangan membayangkan nanti ini dibelikan telur, susu, protein, sayuran Rp 10 miliar. Coba dilihat detil, kata Pak Jokowi, buat perjalanan dinas dianggarkan Rp 3 miliar, rapat-rapat Rp 3 miliar, penguatan pengembangan apa-apa blablabla… Rp 2 miliar. Sudah Rp 8 miliar tuh.

Sedangkan yang untuk benar-benar beli telur itu gak ada Rp 2 miliar. Kalau begini terus, lha ya kapan stunting-nya akan selesai? Habis duitnya buat wira-wiri kesana-kemari. Betul-betul unfaedah.

Contoh lain, untuk pengembangan UMKM yang dianggarkan Rp 2,5 miliar, lalu Rp 1,9 miliarnya habis untuk honor dan perjalanan dinas. Belum lagi buat honor konsultan, yang nota bene kerabatnya sendiri. Sedangkan untuk UMKM-nya? Yah, nanti diundang deh buat foto-foto saat konferensi pers, duh!

Ini fenomena umum penganggaran kita. Menyedihkan memang.

Korupsi yang kasar, model Korupsi BTS Kemenkominfo atau Korupsi Bansos di Kemensos dan Korupsi Benih Lobster KemenKKP, atau korupsi sejak dianggarkan (perencanaan) program adalah sama-sama korupsinya. Artinya sama-sama korupsi yang merupakan ‘extra-ordinary crime’ (kejahatan luar biasa). Duit rakyat yang mestinya dipakai untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat.

Manusia tak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Maka buka lebar-lebar pintu kritik dan saran. Hukum harus tegak, tak pandang bulu dan tidak tebang pilih. Mau partai besar atau partai kemarin sore, sama saja.

Kepala daerah maupun kementerian faktanya memang dikuasai oleh partai politik, lewat kader-kadernya tentu saja. Maka peran partai politik begitu penting dalam hal menjalankan pemerintahan yang bersih, efektif dan efisien.

Maka habitat dimana partai politik itu hidup harus kondusif, artinya yang terbuka untuk masukan, juga untuk kritik. Sekeras apa pun kritik itu. Tidak baperan kayak anak TK, kata Gus Dur.

Ya, sekeras apa pun, bukan sekasar apa pun.

Andre Vincent Wenas, MM,MBA. Direktur Eksekutif, Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.

www.kompasiana.com

Pos terkait