Pertemuan antara Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang juga mantan Presiden RI ke 5 pada Senin malam, 7 April 2025, di Jl. Teuku Umar, Jakarta Pusat, bukanlah sekadar manuver politik biasa. Ini adalah isyarat sejarah. Di satu sisi, Prabowo adalah anak biologis sekaligus ideologis dari Prof. Soemitro Djojohadikusumo, begawan ekonomi nasionalis yang berjuang meletakkan dasar kemandirian ekonomi Indonesia pasca-kemerdekaan. Di sisi lain, Megawati adalah putri dari Proklamator dan Presiden pertama RI, Ir. Soekarno, penggagas ekonomi berdikari dan revolusi rakyat sejati.
Keduanya kini memegang posisi penting dalam masa transisi kekuasaan dan krisis kepercayaan rakyat terhadap elite politik. Pertemuan mereka mestinya bukan hanya simbol pertemuan dua keluarga besar tokoh pendiri republik, melainkan pertemuan dua arus sejarah dan mungkin, satu peluang terakhir “Prabowo The Last Emperor” untuk mewujudkan cita-cita orang tua mereka membangun ekonomi kerakyatan yang berdaulat, adil, dan berdikari.
Cita-cita ekonomi kerakyata yang. berdikari trlah diwariskan oleh Bung Karno, Bung Hatta, Prof. Soemitro, dan Prof. Sarbini tak bisa berdiri di atas tanah yang rapuh. Tanpa hukum yang ditegakkan secara adil dan tegas, impian itu hanya akan jadi slogan kosong.
Bung Karno pernah mengingatkan, “Tanpa hukum, kemerdekaan tinggal slogan, dan ekonomi tinggal mimpi.” (Pidato 17 Agustus 1963. Bung Hatta, “Negara hukum adalah prasyarat bagi demokrasi ekonomi. Tanpa hukum yang adil, rakyat akan terus tertindas oleh kekuasaan dan modal.” (Demokrasi Kita, 1960). Prof. Soemitro, “Tanpa kepastian hukum, investor nasional pun akan lari.” (Ceramah di FE Universitas Indonesia, 1967), dan Prof. Sarbini Soemawinata menambahkan, “Pasal 33 UUD 1945 butuh terang hukum dan perlindungan rakyat dari para pemangsa ekonomi.”
Mereka sadar, hukum adalah pondasi. Maka jika Prabowo dan Megawati ingin mewujudkan cita-cita para pendahulu mereka, langkah awalnya adalah tegakkan hukum, berantas korupsi, dan kembalikan kekayaan negeri ini untuk rakyat.
Prabowo sebagai presiden terpilih dan Megawati sebagai pemimpin partai nasionalis terbesar, memiliki kekuatan moral dan politik untuk memulai babak baru membersihkan Indonesia dari praktek busuk oligarki dan mentalitas komprador yang memperdagangkan kekuasaan demi rente. Inilah cara paling konkret untuk menunjukkan bahwa mereka benar-benar menjalankan amanah Soemitro dan Soekarno, bukan sekadar mengenang nama besar mereka.
Indonesia hari ini berada dalam kondisi ekonomi yang rapuh, utang luar negeri menggunung, kesenjangan sosial melebar, harga kebutuhan pokok terus naik, sementara kekayaan alam digenggam segelintir elite. Di tengah situasi itu, pertemuan Prabowo dan Megawati harus dimaknai sebagai titik balik. Bila benar ada itikad baik, maka dari pertemuan itu harus lahir, pembentukan lembaga atau satgas khusus penegakan hukum terhadap korupsi sumber daya alam. Revisi arah pembangunan nasional yang menempatkan Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan utama. Program nyata untuk mendukung koperasi, UMKM, pertanian rakyat, dan industri dalam negeri. Penghentian proyek strategis yang hanya menguntungkan oligarki dan merugikan rakyat.
*Jangan Biarkan Sejarah Kembali Dikhianati*
Diawal kemerdekaan, perdebatan ideologi ekonomi berlangsung sengit. Namun dapat menyatukan mereka bahwa kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan ekonomi. Ir. Soekarno, Drs. Moh Hatta, Prof. Soemitro, Jenderal Purn Soeharto dan Prof. Sarbini Soemawinata dalam cara yang berbeda, sepakat bahwa ekonomi Indonesia harus dibangun dengan kekuatan rakyat, bukan ketergantungan pada modal asing atau konglomerat rente.
Kegagalan cita-cita para pendiri bangsa puncaknya terjadi pada Peristiwa Malari, 15 Januari 1974, yang dipimpin oleh Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia saat itu dr. Hariman Siregar, dkk, adalah titik balik kesadaran nasional untuk wujudkan ekonomi yang berdikari. Aksi Mahasiswa dan Rakyat terbesar dalam sejarah Indonesia tersebut menolak kebijakan awal pemerintah orde baru atas dominasi modal asing yang dinilai merugikan rakyat kecil yang memperlebar ketimpangan dan ketergantungan. Gerakan mahasiswa Malari saat itu menggugat peraturan investasi yang dikeluarkan pemerintah karena banyak melahirkan praktek ekonomi yang menjauh dari amanat konstitusi, menggadaikan negeri ini pada kekuatan asing dan elite rente.
Pasal 33 UUD 1945 dirancang sebagai wujud hukum dari prinsip itu, penguasaan negara atas sumber daya penting, sistem koperasi, dan keadilan dalam distribusi hasil pembangunan. Namun hari ini, cita-cita itu nyaris menjadi barang rongsok. Kekayaan alam dikuasai segelintir korporasi, utang luar negeri menumpuk, dan proyek infrastruktur strategis banyak yang menguntungkan oligarki. Yang tumbuh bukan koperasi, tapi kartel. Yang subur bukan ekonomi rakyat, tapi ekonomi rente.
Pertemuan Prabowo – Megawati diharapkan menjadi momentum koreksi arah. Apakah keduanya berani kembali ke akar? Apakah pertemuan ini akan melahirkan keberpihakan pada buruh, petani, nelayan, pelaku UMKM, dan koperasi desa? Atau justru sekadar menyatukan kekuatan elite demi menjaga status quo kekuasaan?
Presiden Prabowo telah menyatakan rencana besarnya, mendirikan 80.000 koperasi desa merah putih di seluruh Indonesia. Ini bukan angka kecil. Ini proyek raksasa, dan bukan perkara mudah di tengah situasi ekonomi nasional dan global yang lesu. Rncana besar ini bisa menjadi titik balik. Bila dijalankan dengan kesungguhan, koperasi desa bisa menjadi jaring pengaman ekonomi rakyat sekaligus penggerak produksi lokal yang mandiri. Tentu ini menjadi harapan besar kita pada Pemerintahan Prabowo melalui kementerian koperasi, kuncinya diawali dengan peran negara yang berpihak pada penegakkan hukum yang adil dan tidak tebang pilih.
Cita-cita ekonomi kerakyatan tidak bisa berdiri di atas kompromi terhadap korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Justru langkah pertama yang wajib dilakukan Prabowo dan Megawati adalah membersihkan sektor strategis dari mafia dan pemburu rente. Tanpa penegakan hukum yang menyeluruh terhadap korupsi di sektor SDA, pangan, energi, dan infrastruktur, maka koperasi hanya akan menjadi simbol tanpa isi.
Di sinilah rakyat menunggu bukti keseriusan. Apakah mereka berani menyeret para pelaku korupsi besar ke meja hijau? Apakah mereka berani mengakhiri permainan rente proyek-proyek negara? Bila iya, maka rakyat akan menyambut. Bila tidak, sejarah akan mencatat mereka sebagai generasi yang gagal menunaikan amanah orang tuanya dan konstitusi yang dibangun oleh nyawa, darah dan air mata pendiri dan pejuang bangsa.
*Penutup*
Prabowo dan Megawati punya kesempatan yang tak dimiliki generasi lain, kesempatan untuk membuktikan bahwa nama besar Soemitro dan Soekarno bukan sekadar warisan politik, tapi warisan perjuangan. Dan perjuangan itu kini harus diwujudkan dalam ekonomi berdikari yang berpihak pada rakyat serta hukum yang tak tunduk pada kekuasaan.
Jika ekonomi yang berpihak pada rakyat dan 80.000 koperasi desa benar-benar terwujud dan diberi akses penuh untuk berkembang, maka ekonomi rakyat akan tumbuh dari akar. Lapangan kerja akan tersedia, harga kebutuhan pokok bisa dikendalikan, dan Indonesia tidak perlu lagi mengandalkan utang luar negeri sebagai penopang APBN.
Semua itu hanya mungkin jika langkah pertama dijalankan yakni membersihkan sistem dari para perusak ekonomi rakyat. Itulah revolusi sejati. Dan itulah jalan yang pernah digariskan oleh para pendiri bangsa. Kini, pilihan ada di tangan mereka, menjadi pelanjut amanah sejarah atau sebaliknya.
_Penulis: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)._
Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu 9 April 2025, 05:45 Wib.