PERMESTA: SEJARAH YANG KEHILANGAN MOMENTUM

 

oleh ReO Fiksiwan

„Permesta adalah pemberontakan tanpa komitmen penuh terhadap revolusi, tidak memiliki kejelasan ideologis dan mobilisasi massa yang diperlukan untuk mempertahankan gerakan separatis.” — Barbara S. Harvey(97), Permesta: Half a Rebellion(1977;2009).

Di negeri yang gemar mengarsipkan masa lalu sebagai dekorasi pidato kenegaraan, gerakan PERMESTA(Perjuangan Semesta) kini tinggal catatan kaki dalam buku sejarah.

Dulu, ia adalah teriakan keras dari pinggiran terhadap pusat kekuasaan yang terlalu sibuk membangun monumen di Jakarta.

Kini, ia menjadi nostalgia setengah matang yang disebut oleh sejarawan Barbara S. Harvey sebagai “Half a Rebellion”—pemberontakan setengah hati.

Ironisnya, separuh hati itu kini ingin dijadikan momentum perjuangan lokal, padahal denyut nadinya sudah lama berhenti berdetak.

Di tengah gegap gempita pembangunan ala Presiden Prabowo—dengan koperasi desa berjumlah 80.000, MBG raksasa senilai Rp450 triliun, tiga juta rumah rakyat, dan sekolah gratis yang terdengar seperti janji surga versi APBN—tiba-tiba muncul sekelompok orang.

Komunitas campuran lansia yang belum pensiun ideologis, kaum pra lansia yang belum selesai berdamai dengan sejarah, dan kaum muda yang baru belajar menyebut “identitas lokal” di seminar Zoom maupun tagar-tagar medsos.

Mereka ingin membangkitkan kembali spirit Permesta.

Ya, Permesta.
Gerakan yang bahkan oleh sejarawan Barbara Harvey disebut sebagai “Half Rebellion”—pemberontakan setengah hati.

Tapi rupanya, setengah hati itu masih cukup untuk dijadikan bahan bakar romantisme baru.

Mereka bicara tentang perjuangan lokal, tentang semangat perlawanan terhadap pusat, tentang otonomi yang katanya dulu dirampas.

Tapi tak satu pun dari mereka bicara tentang prospek masa depan lokal Sulut dari perspektif filsafat pembangunan.

Tak ada refleksi tentang developmentalism, tak ada pemahaman tentang bagaimana digitalisasi telah mengubah lanskap perjuangan.

Mereka ingin membangkitkan semangat lama di zaman yang sudah tak mengenal peta lama.

Seperti ingin menghidupkan kembali radio tabung di era streaming.

Permesta, dalam catatan sejarawan UI, Prof. Richard Zakarias Leirissa(1944-2014) dalam PRRI, Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis(1999) dan buku berjudul Permesta–PRRI: Mengawal Negara Proklamasi 45 Berdasar Pancasila(2011), dari Prof. A.E. Sinolungan(87), adalah ekspresi frustrasi elite militer dan sipil di Sulawesi Utara terhadap ketimpangan pembangunan.

Tapi itu dulu.
Kini, yang ingin membangkitkannya justru mereka yang menikmati kenyamanan pusat, duduk di Jakarta sambil menyeruput kopi sambil bicara “perjuangan lokal” dengan aksen metropolitan.

Mereka bicara tentang lumbung pangan, infrastruktur lokal — dari perluasan bandara, Hubport Bitung, jalan layang hingga jalan kereta api di Sulawesi — dan tentu koperasi.

Padahal, koperasi di Indonesia sudah 143.000 jumlahnya, ditambah 80.000 Kordes. Total: 223.000 koperasi.

Tapi, tak satu pun masuk daftar 300 koperasi besar dunia. 100 terbesar, adanya di negeri Presiden Tarif Trump.

Singapura hanya punya dua koperasi besar, tapi cukup untuk membuat satu dari dua warganya, jika ditanya pasti anggota aktif koperasi.

Di Indonesia?
Koperasi lebih sering jadi tempat menyimpan proposal, bukan menyimpan harapan.

Tania Murray Li m(65) dalam The Will to Improve(2007) sudah mengingatkan bahwa pembangunan tanpa pemahaman sosial hanya akan menjadi proyek teknokratis yang gagal.

Tapi siapa peduli?
Yang penting ada angka, ada target, ada seremoni.

Spirit Permesta yang ingin dibangkitkan hari ini bukanlah semangat perlawanan, tapi semangat nostalgia.

Seperti mengenang mantan yang dulu menyakiti, tapi tetap ingin dia kembali.

Di era glokalisasi yang menurut George Ritzer adalah “Global is Nothing,” perjuangan lokal tanpa fondasi filsafat pembangunan hanyalah parade simbol yang indah dan tampak intelek di meja-meja diskusi dan seminar.

Kita tidak lagi melawan Jakarta, kita melawan algoritma, modal asing, dan ketidakpedulian sistem terhadap manusia.

Tapi, mereka yang ingin membangkitkan Permesta tampaknya lebih sibuk membangkitkan kenangan daripada membangun masa depan.

Jadi, jika Permesta ingin dijadikan spirit baru, pastikan dulu bahwa kita tidak sedang menghidupkan kembali sejarah yang bahkan dulu pun tidak sepenuhnya hidup.

  1. Karena di zaman ini, setengah hati bukan hanya tidak cukup.

    Itu, jika ide dan spirit sekalipun, adalah jalan tercepat menuju ketertinggalan total di era dataisme.

Pos terkait