Suarakita.id
Desa Senaru, Lombok Utara, NTB (1/6/2022), Nusa Tenggara Barat memiliki bangunan atau rumah adat di Desa Senaru Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara. Rumah Tradisional ini menjadi kajian Tim Peneliti UI, UTS dan UMMAT untuk melihat model Rumah Tahan Gempa (RTG) dengan kondisi kekinian.
Rumah Tradisional yang berada di kaki Gunung Rinjani ini tidak mengalami kerusakan pada saat gempa kuat yang melanda NTB tahun 2018 silam.
Dengan mengusung judul ‘Penta Helix Membangun Model Rumah Tahan Gempa Berperspektif Kearifan Lokal Pasca Bencana Alam di Provinsi NTB’, Penelitian Universitas Indonesia Kompetitif Nasional dan Penugasan di Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 2022 dari Ditjen Dikti, Riset & Teknologi Kemendikbud Tim Peneliti melakukan kunjungan lapangan ke Rumah Tradisional di Desa Senaru untuk melihat dan berdialog dengan seluruh pemangku kepentingan Pentahelix dari sesepuh adat, Tiga Pilar (Kepala Desa, Babinsa dan Bhabinkamtibmas) dalam kaitannya dengan Rumah Tahan Gempa yang berperspektif kearifan lokal dan ramah lingkungan.
MAKNA BUDAYA
Seperti kita ketahui, Indonesia dengan kekayaan budaya dan kearifan lokalnya telah menjadi satu kesatuan kebudayaan nasional. Rumah tradisional/rumah adat dengan segala bentuknya menjadi bukti nyata akan kekayaan tradisi Indonesia yang masih terpelihara dan terus dijaga, dan tetap dibangun secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun, apakah kearifan lokal (local wisdom) seperti rumah adat dapat menjadi penguat model dan bentuk rumah tahan gempa di era kekinian?
RUMAH ADAT SENARU DAN MASJID KUNO BAYAN TIDAK RUSAK
Tim peneliti yang terdiri dari Dr. Rachma Fitriati, M.Si. M.Si (Han) dari Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Brigjen Ahmad Rizal Ramdhani S.Sos., S.H., M.Han dari Sekolah Ilmu Lingkungan (SIL); dan Prof. Dra. Fatma Lestari, M.Si, Ph.D dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) dan Pusat Pengurangan Resiko Bencana atau Disaster Risk Reduction Center (DRRC) Universitas Indonesia, yang bermitra dengan peneliti Lukmanul Hakim, M.Pd. dan Dedy Dharmawansyah, M.T. dari Universitas Teknologi Sumbawa (UTS) dan Dr. Junaidin, M.Pd. dan Rasyid Ridha, M.Si. dari Universitas Muhammadiyah Mataram (UMMAT) memaknai ulang rumah tahan gempa dalam perpsektif kearifan lokal dan ramah lingkungan di era kekinian.
Faktanya, rumah adat di wilayah Bayan dan Senaru Lombok Utara sedikit sekali mengalami kerusakan atau tergolong rusak ringan (RR). Bahkan, infromasi yang disampaikan Raden Pala, salah satu tetua adat di sana, konon kabarnya perekat fondasi batu-batuan Masjid Kuno Bayan dari putih telur. Fondasi inisama sekali tidak mengalami pergeseran ketika terjadi gempa bumi tahun 2018, padahal desa berada dekat pusat gempa di Lombok Utara. Pertanyaannya, apakah Rumah Adat Senaru dapat menjadi model Rumah Tahan Gempa bagi Nusa Tenggara Barat ?
MEMBANGUN MODEL RUMAH TAHAN GEMPA PERSPEKTIF KEARIFAN LOKAL dan RAMAH
LINGKUNGAN
Pelaksanaan Rumah Tahan Gempa (RTG) NTB sendiri dalam pembangunannya terus dilakukan evaluasi secara berkelanjutan, baik pada tataran kebijakan (policy level), tataran organisasi organizational level), dan tataran operasional (Operational Level) untuk di evaluasi di kemudian hari. Tiga tataran tersebut menjadi satu kesatuan dalam mewujudkan semangat kolaboratif kerjasama multipihak antara Pemerintah (Pusat, provinsi, Kab/kota, Kecamatan, Desa/Kelurahan), multi sektoral (TNI/Polri, BPKP, PU, Perkim, perbankan, Dukcapil, dll); Swasta (aplikator, supplier, dll); Masyarakat sipil (penyintas, fasilitator, LSM); dan Perguruan Tinggi. Kolaborasi multi pihak yang kita kenal dengan pentahelix ini menjadi model dalam pemberdayaan penguatan ketahanan ekonomi masyarakat Desa untuk menemukan pola kemitraan dalam pengembangan potensi Desa dan Kawasan Pedesaan.
REKOMENDASI MODEL RTG UNTUK KERUSAKAN BANGUNAN MASIF.
Berdasarkan hasil kunjungan lapangan dan wawancara dengan tokoh adat dan tokoh masyarakat serta tiga pilar, Rumah Adat Senaru sulit direalisasikan menjadi model untuk kondisi gempa dengan kerusakan bangunan massif seperti di NTB. Hal ini disebabkan karena biaya pembuatan rumah ini lebih mahal dan waktu yang diperlukan untuk membangun rumah ni relatif lebih lama.
Mulai dari bambu dan jerami siap pakai untuk konstruksi atap serta kayu yang menjadi penyangga
utama atau inang bale, harus telah diolah agar bertahan lama dan tidak dimakan rayap. Padahal masyarakat terdampak gempa, membutuhkan hunian yang cepat dan layak menjadi hunian tetap.
Tim Peneliti merekomendasikan lima (5) pertimbangan untuk pemilihan model RTG.
Pertama, kecepatan dalam proses pembangunan. Kedua, kemudahan dalam memperoleh bahan baku. Ketiga, telah dilakukan uji kelayakan ketahanan terhadap gempa. Keempat, adanya pelibatan masyarakat mulai dari edukasi pemilihan model RTG hingga proses pembangunan.Terakhir, masyarakat terdampak gempa merasakan kenyamanan dan rasa memiliki terhadap RTG tersebut sehingga pemeliharaan
bangunan ini terus dilakukan. (Rzl).