Pejabat & Mafia Pengembang Bancakan Lahan Hambalang

Dalam kasus sengketa lahan antara PT Buana Estate dan PT Genta Prana yang berlangsung beberapa tahun terakhir dikabarkan menyeret beberapa nama pejabat lembaga tinggi negara di tingkat pusat.

Sengketa lahan ratusan hektare dengan nilai triliunan itu diduga menjadi bancakan para pejabat agar mendapatkan bagian lahan di Sentul dan Hambalang yang harganya terus melambung tinggi.

Berdasarkan keterangan sumber Law-Justice.co, nama-nama yang diduga ikut menerima itu adalah Kepala KSP Moeldoko.

Kepala KSP Jenderal (Purn) Moeldoko diduga menerima bagian lahan di wilayah yang menjadi sengketa antara PT Buana Estate dan PT Genta Prana.

“Ini mana sebulan yang lalu dikasihkan ke Moeldoko. Waktu itu yang ngurusin, saya itu, Moeldoko,” kata sumber itu menirukan ucapan Swie Teng dalam pertemuan tersebut.

Ia melanjutkan, Moeldoko sebenarnya hendak membantu PT Genta Prana. Tetapi, Kepala KSP itu tiba-tiba menghilang. Moeldoko disinyalir menurut sumber tersebut menerima sejumlah tanah dari Swie Teng.

Law Justice berusaha mengonfirmasi hal ini kepada Moeldoko. Tapi, ia belum membalas hingga naskah ini diterbitkan.

Tak hanya Moeldoko yang diduga menerima bagian lahan di Sentul, bahkan ada beberapa nama seperti Luhut Binsar Pandjaitan yang diduga juga turut menerima bagian. Bahkan ada beberapa bagian dari Luhut yang kemudian dihibahkan kembali ke Nahdahtul Ulama.

Penyerahannya waktu itu diwakili oleh perwakilan Nahdatul Ulama dan juga Direksi PT Sentul City Tbk yang dimiliki oleh Swie Teng.

Dengan adanya bagi-bagi kue lahan ini posisi PT Genta Prana semakin terjepit sehingga melaporkan persoalan ini ke Mabes Polri.

Menanggapi hal itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (Sekjen KPA) Dewi Kartika melihat dalam praktik mafia umum terjadi karena persekutuan terselubung antara pemodal, birokrat, dan penegak hukum.

“Kalau kita melihat praktik mafia itu umum terjadi karena ada persekutuan yang terselubung antara pemodal, birokrat, kemudian penegak hukum dari berbagai tingkatan, bisa dari tingkat elite paling atas, ataupun bahkan sampai tingkat desa itu bisa bersekutu melakukan praktik-praktik mafia tanah,” jelas Dewi pada Law Justice, Jumat, 2 Desember 2022.

“Nah, makanya kalau kita lihat dari sisi aktor, peran, sama modus dari mafia tanah itu enggak mungkin enggak melibatkan pejabat, mulai dari Kementerian ATR/BPN, kantor pertanahan, notaris, pengacara, camat, kepala desa, kemudian bisa juga masyarakat umum, bisa juga mantan pejabat terlibat dalam jejaring aktor mafia tanah,” sambungnya.

Menurutnya berdasarkan modus-modus mafia tanah, bisa juga terhubung ke jejaring yang lain, seperti mafia peradilan, polisi, jaksa, hakim, mafia hutan, dan mafia tambang.

“Ada bandarnya juga, ada pemodalnya. Jadi, dia sangat terencana,” kata Dewi.

Kongsi Usaha Berujung Sengketa Lahan
Sekjen KPA Dewi Kartika menyampaikan, ia harus mendalami dulu kasus PT Genta Prana dan Buana Estate, apakah ada modus mafia tanah di dalamnya.

“Nah, kemudian tadi karena jumlahnya (tanah sengketa) ratusan hektar, apakah itu hanya modus untuk mengonversi dari perkebunan ke jenis pemanfaatan yang lain? Untuk membangun properti dan lain sebagainya. Saya nggak tahu juga,” ujar Dewi.

“Apalagi exsisting di lapangannya kayak apa sih? Jangan-jangan sudah jadi kampung, jangan-jangan sudah jadi perumahan masyarakat,” sambungnya.

Menurutnya, ada beragam kemungkinan dalam kasus ini. Ia melanjutkan, bisa saja sengketa itu sebagai cara kedua perusahaan yang berkongkalikong untuk mendapatkan hak baru atau pembaruan dari hak.

“Memang harus dilihat sih, HGU-nya statusnya masih aktif atau sudah expired, atau sudah terlanjur puluhan tahun ditelantarkan? Karena kalau banyak kelemahannya di sisi perusahaan, misalnya PT Genta sudah puluhan tahun atau belasan tahun menelantarkan karena nggak punya modal untuk mengaktivasi itu, dia bisa kehilangan legitimasi hukumnya,” jelas Dewi.

“Atau ini memang betulan, ini kedua belah pihak yang bersengketa. (Tapi), kalau saling kenal harusnya bisa dituntaskan dong tanpa susah payah,” lanjutnya.

Sengketa Lahan Peninggalan Perkebunan Belanda
Saat ini Mafia Tanah di Indonesia masih menjadi salah satu permasalahan serius yang dihadapi oleh Pemerintah Indonesia.

Salah satu kasus yang menjadi perbincangan adalah kasus mafia tanah yang terjadi di Hambalang dan melibatkan PT Genta Prana dan PT Buana Estate.

PT Buana Estate melalui kuasa hukumnya Ariano Sitorus mengatakan bila Buana Estate telah ditetapkan sebagai pemilik tanah perkebunan di Hambalang tersebut sejak tahun 1977.

Ariano menyatakan hal tersebut ditetapkan secara sah melalui Hak Sertifikat HGU No.01/Hambalang/1977 dengan luas 700 hektare.

“Jadi sesuai dengan ketentuan tersebut bila lahan itu berada di area PT Buana Estate,” kata Ariano seperti dikutip dari Antara.

Ariano menegaskan bila PT Buana Estate menggarap lahan yang berada di area tersebut secara legal.

Selain itu, sangat jelas bila putusan MA No. 2980/K/Pdt/2011 juncto putusan No. 588/PK/Pdt/2013 Pt. Buana Estate sudah ditetapkan pemilik sah tanah seluas 211 hektare tersebut.

Seperti diketahui bila, tanah seluas 211 hektare tersebut adalah bagian dari tanah seluas 488 hektare.

“Dengan begitu pihak yang kalah dari PT Buana Estate tidak punya hak atas tanah yang menjadi objek perkara tersebut,” tegasnya.

Sementara itu, Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus mengatakan bila pihaknya sangat terbuka untuk menerima laporan dari masyarakat terkait persoalan mafia tanah.

Menurutnya, panja mafia tanah akan melihat laporan dari masyarakat terkait adanya dugaan pelanggaran hukum dengan tidak menghargai hukum serta menabrak aturan oleh oknum di Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Negara (BPN).

“Saya dengan teman teman Komisi II tentu sangat terbuka, silahkan lapor nanti kami akan pelajari,” kata Guspardi kepada Law-Justice.

Guspardi menyatakan bila dirinya tidak mau terlalu ikut campur terkait dugaan adanya pelanggaran dalam sengkarut tanah.

Meski begitu, ia menyebut bila secara umum jika ingin mengusut mafia tanah ada titik terang sebenarnya sangat mudah.

“BPN dulu dipegang, siapa yang menandatangani, siapa kepala kantornya, kemudian di internal itu siapa yang memproses. BPN itu kepalanya tentu dianggap tahu, bisa juga dia melakukan koordinasi dengan anak buahnya, bisa juga atas perintah kepala kantor, dan bisa juga kepala kantor tidak tahu menahu, cuman oknum dibawahnya,” ucapnya.

Politisi PAN tersebut juga menyinggung komitmen pemerintah sebagaimana instruksi Presiden Joko Widodo agar aparat penegak hukum terlibat aktif dalam menyelesaikan permasalahan tanah di berbagai daerah di Indonesia.

“Presiden Jokowi pernah meminta Kapolri dan Kejaksaan untuk terlibat menyelesaikan persoalan tanah, bukan hanya mafia tanah, tapi juga soal sengkarut tanah,” ujarnya.

Senada dengan Guspardi, Ketua Panitia Kerja (Panja) Mafia Tanah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Junimart Girsang meminta Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto untuk serius membenahi persoalan mafia tanah.

Junimart mengatakan bila Hadi harus segera melakukan bersih-bersih di internalnya mulai dari jajaran paling bawah di kementerian tersebut.

Menurutnya, persoalan mafia tanah tak kunjung usai, karena mental kinerja oknum internal BPN yang bekerjasama secara sistematis masif dengan para mafia tanah.

Selain itu, dalam pembentukan satgas mafia tanah Junimart mengakui bila ia tidak setuju dalam satgas tersebut melibatkan unsur pejabat ATR/BPN didalamnya.

“Saya sangat tidak setuju dari awal bahwa pembentukan satgas mafia tanah itu melibatkan unsur ATR/BPN didalamnya karena akan menimbulkan conflict of interest,” kata Junimart saat dihubungi Law-Justice.

Lebih lanjut, Wakil Ketua Komisi II DPR RI itu mencontohkan, kasus surat warkah yang ada di BPN, namun raib entah kemana.

Selain itu, kasus juru ukur tanah bekerja bisa by order, bahkan asal ukur tanpa pakai titik koordinat yang sahih.

“Kejadian yang sangat mempermalukan Pak Presiden Jokowi ketika sertifikat berdasar Redis, PTSL yang beliau bagikan sebanyak 300 sertifikat di Jasinga Bogor secara gratis kepada masyarakat ternyata bermasalah,” ungkapnya.

Oleh karena itu, Integritas dan komitmen Menteri ATR/BPN Hadi untuk memberantas mafia tanah yang sudah menggurita harus segera dipertanggungjawabkan secara konsisten dan konsekuen.

Politisi PDIP tersebut juga menyatakan untuk memberantas mafia tanah, tentu Hadi harus melakukan bersih-bersih internal dalam institusi ATR/BPN.

Karena komunitas mafia pertanahan ini terjadi, terbentuk berkat peranan orang dalam sendiri.

“Evaluasi di internal Kementerian sudah harus dilakukan dalam rangka bersih-bersih dari tingkat Kasi di Kantah, Kanwil sampai ke Kementerian,” ujarnya.

BPN Ikut Bermain dalam Kasus Sengketa Hambalang?
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (PSKP) R.B. Agus Widjayanto ikut menyaksikan inisiasi perdamaian antara PT Genta Prana dengan PT Buana Estate.

Dalam akun twitter resmi BPN dan Kementerian Agraria pada 2021 diumumkan adanya proses perdamaian.

Inisiasi perdamaian ini dilakukan pada Tahun 2021 silam dengan ditandai penandatanganan perdamaian yang disaksikan langsung oleh Pihak Kementerian ATR bersama dengan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor.

“Kementerian ATR/BPN juga telah melakukan mediasi antara dua pihak yang bersengketa pada tahun 2010, namun tidak tercapai win-win solution,” kata akun tersebut.

Akun resmi BPN itu juga menginformasikan bila Sengketa pertanahan yang melibatkan kedua perusahaan tersebut terjadi sejak tahun 2008 atas tanah seluas 2.117.500 m2 yang terletak di Desa Hambalang, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.

Namun kenyataannya, kasus sengketa itu masih terus berlangsung dan tidak ada titik temu antara kedua belah pihak.

Bahkan PT Genta Prana menuding pihak BPN bermain dalam kasus ini membuat kebijakan dan memuluskan pembuatan sertifikat atas nama PT Buana Estate.

BPN disinyalir ikut bermain dalam kasus sengketa tanah PT Genta Prana dan PT Buana Estate di Desa Hambalang, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor. Ini terlihat dari adanya surat rahasia dari Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala BPN waktu itu Sofyan Djalil.

“Dikirimlah surat ke Kanwil (Kantor Wilayah BPN Jawa Barat) secara rahasia gitu, terus si Kanwil supaya terbitkan sertifikat surat tanah 200 (hektare) dengan tanah saya itu, dibikinkan sertifikat jadi PT Buana Estate,” ujar Dolok.

Namun, ia melanjutkan, tidak semua orang BPN jahat, buktinya ia mendapatkan surat rahasia bernomor 569/27.3-300/I/2017 itu. Dalam salinan surat rahasia dari Kementerian ATR/BPN kepada Kanwil BPN Jawa Barat yang diterima Law Justice, di antaranya tertulis:
c. Menindaklanjuti permohonan PT Buana Estate dengan berdasar kepada eksistensi Putusan Pengadilan Negeri Cibinong tanggal 22 Juli 2010 Nomor 146/Pdt.G/2009/PN.Cbn …;
d. Memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor untuk melakukan penelitian data fisik dan data yuridis bilamana permohonan PT Buana Estate telah lengkap.

“Lalu, dibikin surat kepada PT Genta Prana mengatakan bahwa wewenang saudara tentang permintaan sertifikat atas tanah 211 (hektare) itu tidak dapat dipertimbangkan,” kata Dolok.

“Nah, dikirimi surat mengatakan surat kami itu kami batalkan, kami cabut tidak berlaku lagi, kan kayak main-main,” sambungnya.

Ia menjelaskan, begitu surat itu ditundakan, Sofyan Djalil memerintahkan hal itu dilaksanakan. Ia juga mengaku, dimintai uang sejumlah Rp20 miliar.

“Saya itu diminta Rp20 M (oleh BPN) kantor Bogor, tapi kalau saya ngomong nggak ada selesainya. BPN Bogor minta Rp20 M, Rp11 M untuk biaya ngurus perkara, sisanya untuk biaya lain lah katanya,” paparnya

Menurut Dolok, perkara sengketa tanah ini adalah andil dari BPN. Ia mengungkap, Kepala BPN dulu bahkan mengaku takut dengan Probosutedjo.

“Intinya kesalahan ini bukan kesalahan PT Buana Estate, kesalahan ini adalah kesalahan BPN. Waktu kita menghadap Kepala BPN dulu, dia bilang `saya takut sama Probosutedjo, nanti saya akan suruh PT Buana Estate perdata` katanya,” jelasnya.

Pemerintah Tidak Serius Berantas Mafia Tanah
Sekjen KPA Dewi Kartika menyoroti peran pemerintah dalam memberantas mafia tanah. Menurutnya, memang ada beberapa kasus yang di-blow up atau diviralkan supaya Kementerian ATR/BPN atau Polri terlihat serius memberantas mafia tanah, tapi ini belum masuk ke akarnya.

Ia melanjutkan, KPA melihat banyak tipologi konflik agraria, misalnya dalam konteks pemberian atau perpanjangan HGU. Menurutnya, konflik agraria struktural yang sudah puluhan tahun bisa terkait dengan HGU.

“Karena pemberian HGU itu puluhan tahun berkutat di pengusaha perusahaan, terus dia berkelindan juga dengan elit kekuasaan atau politik,” ujar Dewi.

“Jadi, sudah ada kongkalikong antara pejabat, pemilik proyek, dengan pemerintah desa yang di bawah tangan sudah setuju, tanpa masyarakat tahu bahwa tanahnya menjadi objek pengadaan tanah,” sambungnya.

Selain itu, ia melihat, sumber-sumber praktik mafia tanah, termasuk korupsi di dalamnya berasal dari konflik agraria struktural, seperti dari banyaknya kasus tanah terlantar yang jadi target praktik mafia, kemudian proses pengadaan tanah untuk pembangunan, kemudian praktik penerbitan sertifikat PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap).

“Termasuk menurut kami yang terbaru ini adalah dia juga bisa berpotensi menjadi bagian dari sumber praktik mafia dan korupsi agraria itu soal Bank Tanah, lembaga baru yang dibentuk pemerintah berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja,” ujar dia.

Kronologi Sengketa Tanah
Tanah seluas kurang lebih 211 hektare atau sekitar 2.117.500 meter persegi di Desa Hambalang, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat menjadi objek sengketa oleh PT Genta Prana dan PT Buana Estate. PT Genta Prana mengklaim itu adalah tanahnya, begitu pula PT Buana Estate.

Tanah yang disengketakan itu awalnya termasuk dalam perkebunan Tijeratie seluas 813 hektare dengan hak Erpacht N.V. Handle en Cultuur Matschapij Tijederadit (NV. Handle). Untuk diketahui, hak Erpacht hak guna usaha atau hak kebendaan untuk menikmati kegunaan tanah pihak lain.

Direktur Utama PT Genta Prana, Dolok F. Sirait (81), mengatakan sebagian tanah seluas 203 hektar dijadikan perkebunan oleh NV. Handle, sedangkan sekitar 211 hektare disewa masyarakat sebagai Plasma.

“Plasma itu kerjasama dengan yang punya tanah. Artinya pupuknya, ongkos kerjanya, dan segala macam dibiayai oleh perusahaan. Baru nanti hasilnya dibagi, jadi itu namanya Plasma,” kata Dolok pada Law Justice, Rabu, 30 November 2022.

Ia melanjutkan ceritanya, pemilik perkebunan itu lalu pulang ke Belanda setelah Indonesia merdeka. Perkebunan tersebut tetap digarap oleh masyarakat sekitar.
Pada 1962, masyarakat sudah mulai membayar pajak bumi. Dua tahun kemudian, masyarakat sudah mendapat Kartu Kuning atau Surat Tanda Kepemilikan Sementara dari Kadaster Bogor.

PT Genta Prana kemudian melakukan pembebasan pada 1997 – 1999 terhadap 622 orang yang menggarap tanah itu.

“Jadi, yang kita bebaskan kebunnya dia, kalau tanah kan tanah negara. Jadi, nggak perlu surat macam-macam, namanya kebunnya doang yang kita bebaskan,” ungkap Dolok.
Ia lantas mengaku memiliki bukti pembebasan. Bukti-bukti itu berupa kwitansi pembebasan kebun seluas 211 hektare milik 622 warga.

Pada 2003, PT Genta Prana kemudian berencana mengurus sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di tanah 211 hektar itu. Namun, ternyata tanah itu sudah termasuk dalam sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) PT Buana Estate seluas 705 hektare (7.050.550 m2).

“Kebetulan waktu itu kita nggak tahu kalau itu sudah HGU-nya PT Buana Estate,”ungkap Dolok.

Sertifikat HGU No. 1/Hambalang milik PT Buana Estate itu terdaftar pada 1997 dan berakhir pada 30 Desember 2002. Sebelum masa berlaku sertifikatnya habis, pada 2000 PT Buana Estate mengajukan permohonan perpanjangan sertifikat HGU.

“Tetapi, diajukan permohonan tahun 2000 mengatakan tanah itu kembali ke negara karena tidak pernah digunakan oleh mereka. Nah, kembali ke negara di bawah kekuasaan Bupati Bogor” kata Dolok.

“Tahun 2004 kita sama-sama memohon ke bupati, PT Buana Estate dengan PT Genta Prana. PT Buana Estate disetujui 455 hektare, PT Genta Prana 250 hektare,” sambungnya.

Keputusan itu diketahui atas kesepakatan bersama PT Genta Prana, PT Buana Estate, Ketua DPRD Bogor, Camat Citeureup, dan para kepala desa setempat.

Setelah kesepakatan itu, tiba-tiba muncul Surat Keputusan (SK) BPN No. 9/HGU/BPN/2006 tanggal 1 Juni 2006. Isinya adalah penerbitan sertifikat HGU PT Buana Estate seluas 657,8 hektare.

Padahal, dalam kesepakatan bersama sebelumnya, PT Buana Estate mendapatkan hak atas tanah seluas 455 hektare. Tanah PT Genta Prana seluas 211 hektare juga termasuk dalam sertifikat HGU PT Buana Estate itu.

“Oleh BPN tanpa sepengetahuan PT Buana Estate, tanpa sepengetahuan siapapun, diterbitkan sertifikat 657 hektare, termasuk tanah kita. Terus saya ke Ibu (Ratmani) Probosutedjo (Direktur) PT Buana Estate, `itu gimana, Bu?`,” ujar Dolok menceritakan kejadian waktu itu.

“`Wah, kami nggak pernah memohon. Tuntut dia, kalau kamu nggak tuntut nanti saya disuruh bayar ke dia` katanya. Nah, saya tuntutlah ke PTUN. Ya kita menanglah,” lanjutnya.

Pada 2007, PT Genta Prana menggugat BPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan itu lalu dimenangkan oleh PT Genta Prana.

“Putusannya itu menyatakan batal sertifikat (HGU No. 149/H atas nama PT Buana Estate), batal SK No. 149 itu yang mengatakan (menjadi dasar) sertifikat,” ucap Dolok.

BPN lantas membatalkan Sertifikat HGU No. 149/H itu melalui SK BPN No. 1/Pbt/BPN RI/2011 pada 15 April 2011 silam. Namun, BPN tak kunjung membuatkan sertifikat HGB untuk PT Genta Prana.

Pada 2009, PT Buana Estate lalu menggugat PT Genta Prana dan BPN ke Pengadilan Negeri (PN) Cibinong. PT Buana Estate menggugat, tanah 211 hektare itu adalah tanah milik mereka sesuai Sertifikat HGU No. 149/H.

Pada 2010, sempat dilakukan mediasi antara PT Genta Prana dan PT Buana Estate. Namun, mediasi gagal karena tidak mencapai kata mufakat.

Pengadilan lalu dimenangkan PT Buana Estate sebagai penggugat. Majelis hakim memutuskan, salah satunya, Sertifikat HGU No. 149/H atas nama PT Buana Estate sah secara hukum dan diperpanjang hingga 25 tahun ke depan sejak terbit pada 15 Juni 2006.

Keputusan PN Cibinong itu telah dieksekusi. Namun, PT Genta Prana menilai hal itu tidak riil. Ini karena putusan perdata itu bersifat declatoir. Ini karena Sertifikat HGU No. 149/H telah dibatalkan Mahkamah Agung dan BPN sebelum perkara perdata.

“Nah, hakim mengatakan itu salah, kata yang bukan hakim langsung, karena ada menantu juga (yang jadi hakim),” kata Dolok.

“Oleh karena itu, putusan itu disebut declatoir. Declatoir itu artinya tidak bisa dilaksanakan, tanah masih punya PT Genta Prana,” tegasnya.

Oleh sebab itu, ia menilai tanah 211 hektare yang disengketakan itu masih menjadi hak PT Genta Prana. Sesuai dengan putusan PTUN, lanjutnya, tanah itu harus diterbitkan sertifikat.

Atas hal ini, PT Genta Prana mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) pada 2011. Namun, hal ini ditolak.

PT Genta Prana lalu mengajukan peninjauan kembali (PK) ke MA 2013. Tetapi, gugatannya ditolak majelis hakim.

Sengketa antara PT Genta Prana dan PT Buana Estate tidak hanya dilakukan di pengadilan. Menurut keterangan Dolok, PT Sentul City atas nama PT Buana Estate telah memagar tembok di atas tanah PT Genta Prana.

Selain itu, kantor PT Genta Prana, rumah-rumah warga, dan tanaman-tanaman diratakan sampai rata dengan tanah. Pengrusakan dengan bulldozer dilakukan selama sekitar dua minggu dan baru berhenti setelah ada anggota DPRD Bogor melarang.

Akal-akalan Taipan Kwee Cahyadi
Sementara pada 7 September 2021, Dolok Sirait menemui bos PT Sentul City Cahyadi Kumala alias Kwee Cahyadi Kumala alias Swie Teng.

Atas hal ini, PT Genta Prana mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) pada 2011. Namun, hal ini ditolak.

PT Genta Prana lalu mengajukan peninjauan kembali (PK) ke MA 2013. Tetapi, gugatannya ditolak majelis hakim.

Sengketa antara PT Genta Prana dan PT Buana Estate tidak hanya dilakukan di pengadilan. Menurut keterangan Dolok, PT Sentul City atas nama PT Buana Estate telah memagar tembok di atas tanah PT Genta Prana.

Selain itu, kantor PT Genta Prana, rumah-rumah warga, dan tanaman-tanaman diratakan sampai rata dengan tanah. Pengrusakan dengan bulldozer dilakukan selama sekitar dua minggu dan baru berhenti setelah ada anggota DPRD Bogor melarang.

Akal-akalan Taipan Kwee Cahyadi
Sementara pada 7 September 2021, Dolok Sirait menemui bos PT Sentul City Cahyadi Kumala alias Kwee Cahyadi Kumala alias Swie Teng di Sentul City.

“Tanggal 7 September 2021, PT Sentul City atas nama PT Buana Estate mengundang PT Genta Prana berdamai,” ujar anak Dolok Sirait.

Ia menjelaskan, Swie Teng adalah narapidana mafia tanah yang sekarang berada di Singapura.

“Saya dapat bocoran ‘kamu dapat Rp36 M nanti, tandatangani aja, karena kalau kamu baca nanti kamu nggak setuju’,” ucap Dolok.

“Saya tanda tangani, nggak baca saya, udah saya langsung pulang. Karena waktu itu hanya setengah jam selesai,” paparnya.

Ketika ditanya alasan mengapa mau menandatangani sesuatu yang tidak ia baca, Dolok mengaku di situ dikatakan ‘perdamaian antara PT Buana Estate dengan PT Genta Prana’.

Meski menandatangani nota perdamaian itu, ia mengaku tak mendapat nota salinannya. Meski begitu, ia berhasil mendapatkan perjanjian itu karena dibantu kenalannya.

“Nah setelah dibaca itu, ini di Pasal 1 semua tuntutan PT Genta Prana itu dibatalkan. Kedua, PT Genta Prana harus membantu PT Buana Estate mengeluarkan sertifikat,” sahut anak Dolok Sirait yang mendampinginya.

Sebelum pertemuan itu, sekitar tahun 2020 atau 2021, Dolok dan Swie Teng juga pernah bertemu. Pertemuan itu juga membahas soal perdamaian, tapi tidak ditemukan kata sepakat.

Menurut Dolok, saat itu PT Genta Prana ditawari tanah seluas 10 hektare. Sedangkan 200 hektare untuk dia.

“Ya, kita nggak setuju,” tegasnya.

Kasus Menggantung di Mabes Polri
Hingga kini, perkara ini masih berjalan. Pada 2019 lalu, Dolok Sirait diketahui melaporkan Nuraini Pujiastuti Probosutedjo dan Kwee Cahyadi ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.

Mereka berdua dilaporkan atas dugaan memasuki pekarangan orang lain tanpa izin pemilik sah (Pasal 167 KUHP), dan/atau penggelapan hak atas benda tidak bergerak (Pasal 385 KUHP), dan/atau pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP), dan/atau menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik (Pasal 266 KUHP).

Law Justice lalu menghubungi Bareskrim Polri untuk mengonfirmasi perkara ini.

“Update terakhir kami masih menunggu pihak Buana Estate menghadirkan saksi untuk memberikan keterangannya, alasan mereka bahwa yang kami butuhkan keterangannya masih berada di luar negeri,” kata Kompol Halipah Retno Sari pada Law Justice, Kamis 1 Desember 2022.

Sumber Laporan : Ghivary Apriman, Amelia – Law-Justice.co

Pos terkait