Menyalakan Lilin di Tengah Indonesia yang Gelap

Oleh Arvindo Noviar

Dalam setiap rezim, selalu ada dua jenis kegelapan yang berbeda sumber namun sering tertukar maknanya. Yang pertama adalah kegelapan yang lahir dari kesengajaan sistemik, ketika distribusi kekuasaan dirancang untuk menyembunyikan akses dan membatasi terang bagi sebagian besar rakyat. Yang kedua adalah kegelapan yang dibesar-besarkan oleh suara-suara yang menolak arah baru, yang belum tentu sempurna namun sedang berupaya membangun terang secara bertahap. Dalam ruang sosial yang penuh kebisingan informasi, kita mesti bisa membedakan keduanya. Kita tidak bisa melabeli gelap tanpa bertanya terlebih dahulu: gelap bagi siapa, dan siapa yang mengaturnya tetap gelap?

Di titik inilah pernyataan Presiden Prabowo Subianto soal “Indonesia gelap” perlu kita baca secara jernih, bukan dalam kebisingan polemik, tetapi dalam terang strategi. Yang disebut gelap bukan hanya tentang pencahayaan infrastruktur, melainkan tentang kekuatan-kekuatan lama yang terus merongrong narasi kebangsaan dengan cara-cara baru. Ketika beliau menyatakan bahwa ada pihak-pihak yang menunggangi semangat “demi Indonesia” untuk kepentingan mereka sendiri, maka yang disingkap bukan hanya soal moralitas oknum, tapi struktur sosial tempat manipulasi itu tumbuh. Ketulusan rakyat yang ingin membela bangsa memang acapkali dijadikan kendaraan oleh aktor-aktor yang tidak pernah bekerja dari akar, tetapi memanen dari kegaduhan.

Karena itu, gelap yang dimaksud bukanlah gelap dari rakyat. Justru rakyat selama ini telah menjadi sumber terang yang tak pernah habis. Gelap itu datang dari kekuasaan lama yang enggan melepaskan cengkeraman, dari cara berpikir yang menolak keberpihakan baru, dari strategi elit yang terbiasa menjadikan penderitaan rakyat sebagai komoditas politik. Di tengah situasi ini, kerja politik yang mengakar pada kepentingan rakyat menjadi terang yang harus kita bangun secara kolektif, tidak dengan jargon dan janji kosong, melainkan dengan kebijakan yang menyentuh alat produksi, memperbaiki distribusi, dan memulihkan kedaulatan atas penghidupan.

Kita tidak sedang hidup dalam narasi yang kosong. Sejumlah program konkret yang digagas oleh Prabowo Subianto telah berjalan sebagai bentuk keberanian memulai arah baru, bukan sebagai reaksi populis, tetapi sebagai usaha membongkar akar ketimpangan yang selama ini dijaga oleh sistem yang menyingkirkan rakyat dari alat-alat penghidupannya. Program Makan Bergizi Gratis tidak bisa dibaca hanya sebagai kebijakan konsumsi harian, sebab ia menyasar langsung salah satu lapisan terdalam ketidakadilan struktural: akses terhadap gizi yang layak, yang selama ini hanya dimiliki oleh kalangan tertentu di wilayah dan kelas sosial tertentu. Dengan memastikan makanan bergizi sampai ke meja anak-anak desa, negara tidak sedang memberi makan, tetapi sedang memperbaiki fondasi keberlanjutan generasi. Ia mengintervensi ketimpangan sejak titik paling dasar, dan dari sana, membangun ulang logika distribusi.

Di bidang pendidikan, Sekolah Rakyat berdiri sebagai perlawanan yang tenang terhadap komersialisasi pengetahuan. Ia bukan sekadar alternatif dari sekolah formal, tetapi koreksi terhadap sistem pendidikan yang menjadikan ilmu sebagai komoditas dan memaksa keluarga miskin untuk memilih antara makan hari ini atau membayar uang sekolah. Sekolah Rakyat membuka ruang pengetahuan tanpa bergantung pada industri pendidikan yang diskriminatif. Ia mengembalikan pendidikan ke pangkuan rakyat, menjadikannya alat pembebasan, bukan beban pengeluaran. Di saat yang sama, Koperasi Desa Merah Putih lahir bukan sebagai proyek ekonomi pinggiran, melainkan sebagai upaya strategis merebut kembali kendali atas proses produksi dari tangan pasar yang bekerja tanpa batas negara. Melalui koperasi yang dibangun dan dikelola dari bawah, rakyat tidak lagi hanya menjadi konsumen akhir dari sistem ekonomi, tetapi pelaku utama yang menentukan arah produksi, distribusi, dan nilai.

Lebih jauh dari itu, kita mencatat keseriusan Prabowo dalam membangun infrastruktur strategis yang menopang kedaulatan jangka panjang. Cadangan Logistik Strategis bukan hanya soal gudang pangan, melainkan upaya merancang ketahanan negara dari potensi krisis global yang akan selalu membebani negara-negara yang bergantung pada pasar luar. Dana Abadi Pesantren menunjukkan pengakuan negara terhadap peran institusi keagamaan dalam membentuk daya tahan sosial, bukan hanya sebagai pusat dakwah, tetapi sebagai ruang produksi nilai, disiplin, dan solidaritas. Sementara itu, reformasi kelembagaan pertahanan yang ia gagas bukan bertujuan menambah kekuatan senjata, tetapi menata ulang arah pertahanan agar menyatu dengan strategi pembangunan. Ketahanan nasional tidak lagi dipahami sekadar dari kekuatan militer, melainkan dari kemampuan rakyat untuk bertahan hidup secara kolektif, dengan sistem ekonomi yang kuat, distribusi pangan yang adil, dan kesadaran sejarah yang terus hidup di tengah masyarakat.

Semua ini bukanlah pencitraan, sebab pencitraan hanya berlaku ketika tidak ada realitas yang mengikutinya. Kita harus bisa memisahkan antara kritik terhadap kekuasaan dan pengingkaran terhadap kerja sosial yang sedang dibangun. Kritik yang tidak mengakui capaian bukanlah keberanian intelektual, tetapi ketakutan terhadap hilangnya dominasi lama. Karena itu, tugas kita bukan hanya menyuarakan kebenaran, tetapi juga menyusun ulang lanskap kesadaran agar rakyat tidak terus diseret dalam perang narasi tanpa alat berpikir yang jernih.

Ada yang ingin menggiring kita percaya bahwa Indonesia hari ini gelap karena belum seluruh janji terpenuhi. Padahal bangsa ini telah terlalu lama digiring dalam terang palsu yang penuh ilusi kesejahteraan. Kita perlu mengingat: gelap bukan sekadar soal keadaan, tetapi soal posisi. Siapa yang berada di luar distribusi kuasa akan melihat kegelapan. Tapi siapa yang sedang menata ulang alat distribusi itu, justru sedang memikul obor yang menyala diam-diam. Politik keberpihakan tidak selalu hadir dengan gemuruh. Ia sering hadir dalam keputusan-keputusan yang tenang, tapi menyentuh dapur rakyat.

Maka seluruhnya harus kita ubah: cara kita menilai terang, cara kita menyebut gelap, dan cara kita memahami kerja sosial yang tidak selalu tampak dalam retorika. Indonesia tidak sedang dalam kegelapan. Yang gelap adalah cara lama yang terus dipertahankan dengan membajak semangat perubahan. Terang adalah keberanian menyusun ulang seluruh struktur penghidupan, dan di sinilah letak pertarungan yang sesungguhnya.

Indonesia tidak akan menjadi terang hanya dengan lampu-lampu narasi. Ia menjadi terang ketika program bergizi sampai di piring anak desa, ketika koperasi tumbuh tanpa digilas distributor besar, ketika pendidikan tak lagi diperjualbelikan, dan ketika strategi pertahanan tidak lagi bertumpu pada impor senjata, tetapi pada ketahanan rakyat yang sadar akan sejarahnya. Dan untuk semua itu, kegelapan tidak cukup hanya dikutuk. Ia harus dilawan dengan kerja terang yang disiplin, tepat, dan berpihak.

Pos terkait