Oleh Arvindo Noviar
Kehidupan petani di dataran Pantura bermula sebelum matahari terbit. Mereka menyiapkan lahan, menakar benih, lalu membiarkan waktu dan hujan menentukan hasil. Setiap musim tanam membawa harapan sekaligus ketidakpastian. Harga pupuk yang berubah-ubah, cuaca yang tak menentu, dan akses pasar yang tak pernah lepas dari tawar menawar di tingkat perantara memperlihatkan betapa rapuhnya kendali rakyat atas produksi mereka sendiri. Potret sederhana itu menuntun kita memahami bahwa kebijakan global sering dimulai jauh dari ladang, namun dampaknya terasa sampai ke ujung cangkul.
Di ruangan formal forum internasional, nama Indonesia tercatat di antara barisan negara anggota. Sekilas itu tampak seperti perolehan diplomatik biasa. Namun setiap kebijakan yang disepakati menyalurkan gelombang konsekuensi ke pedesaan dan pelabuhan. Ketika perjanjian dagang memperketat kuota impor, petani padi merasakan tekanan harga yang menukik. Ketika tarif energi dinaikkan, nelayan kecil terhenti melaut. Bahasa hukum global itu menjelma kenyataan hidup di tanah air.
BRICS muncul ketika banyak negara menyadari bahwa kerangka lama terlalu sempit untuk menampung keragaman kepentingan di selatan dunia. Kerjasama ini lahir dari pengalaman bersama bahwa mekanisme keuangan internasional kerap mengekang kedaulatan melalui beban utang dan syarat restrukturisasi. Forum baru itu tidak menghapus perbedaan politik atau ekonomi, melainkan menawarkan ruang dialog dengan setidaknya setara saat berbicara tentang kedaulatan pangan, alih teknologi, dan pendanaan pembangunan.
Indonesia memasuki forum ini setelah proses pembacaan ulang strategi luar negeri. Negara yang selama ini mengedepankan netralitas formal memutuskan untuk membawa isu domestik ke meja perundingan global. Dalam BRICS kita akan ajukan usulan akses kredit lunak untuk koperasi desa, program alih teknologi pertanian terpadu, dan pendanaan riset perikanan rakyat. Usulan-usulan itu lahir dari kesadaran bahwa kebijakan global harus menyentuh akar rumput setiap bangsa.
Rezim pinjaman internasional pascaperang dunia tidak dirancang untuk kemerdekaan ekonomi. Yang membutuhkan dana dipaksa lebih dulu membuka sektor publik untuk penyesuaian struktural. Sebab utang mengikat kedaulatan, sebab kedaulatan meredup saat kebijakan domestik diatur oleh lender. Sekarang kita memiliki alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada satu sumber, menggantinya dengan kerjasama yang setara dan tanpa syarat yang memberangus kebijakan nasional.
Anggota BRICS membawa pengalaman berbeda. Brasil menunjukkan bagaimana pertanian berkelanjutan bisa digarap tanpa meninggalkan prinsip keadilan sosial. Afrika Selatan menata ulang industri pertambangan untuk memberi ruang penduduk lokal. India memadukan teknologi informasi dengan pemberdayaan desa. Tiongkok memperluas kapasitas manufaktur sekaligus menguji skema infrastruktur regional. Rusia menghadirkan opsi energi yang tidak bergantung pada pasar barat. Setiap pengalaman itu menjadi pelajaran bagi kita untuk menyusun rumusan kerja sama yang berpihak pada rakyat.
Kedaulatan adalah hak setiap bangsa. Utang seringkali didesain memerangkap kebijakan politik. Maka kedaulatan terancam setiap kali kita terikat pada syarat yang melemahkan. Jika keputusan internasional memperhitungkan kepentingan rakyat, maka kita mampu merancang kebijakan yang memperkuat posisi tawar petani, nelayan, dan pelaku usaha kecil. Keanggotaan dalam forum alternatif memberi peluang menguji cita-cita kita di ranah global.
Diplomasi yang efektif adalah diplomasi yang menyentuh kehidupan sehari-hari. Ketika perjanjian internasional membuka akses bahan bakar murah bagi nelayan, harga solar yang terjangkau bukan lagi impian. Ketika alih teknologi untuk pengolahan ikan dan pangan hadir di desa, rantai nilai ditarik lebih dekat ke penghasil. Ketika riset kampung terjamin, inovasi lokal menembus pasar global. Itulah wujud nyata keberpihakan dalam politik luar negeri.
Apa arti forum global jika anak muda desa terus meninggalkan ladang karena tak ada pekerjaan? Adakah manfaat forum diplomatik jika solusi itu tidak menghasilkan lapangan kerja tambahan untuk kaum terpelajar? Pertanyaan-pertanyaan itu menuntut kita mengubah narasi besar menjadi proyek konkret yang mendampingi masyarakat dalam setiap langkah implementasi.
Perang saat ini bukan hanya perang bersenjata. Ia juga terjadi dalam blokade ekonomi dan manipulasi data. Kekerasan sistemik bisa lebih mematikan daripada bom udara ketika menghentikan aliran bantuan dan mengikis kepercayaan publik. Diplomasi yang berpihak menuntut kita memasukkan pertahanan digital dan finansial rakyat ke dalam strategi nasional, memastikan bahwa kedaulatan non-fisik juga diperkuat.
Keputusan Presiden Prabowo membuka ruang bukan untuk menjauh, melainkan merajut jaringan yang berakar pada kebutuhan rakyat. Langkah ini menunjukkan keberanian untuk menegaskan posisi nasional di tengah ketidakpastian global. Ia mengajak seluruh elemen bangsa memahami bahwa kedaulatan politik dan ekonomi adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisah.
Semoga Presiden Prabowo dianugerahi kebijaksanaan menakar setiap langkah, agar kebijakan yang dihasilkan menebar keadilan bagi petani dan nelayan. Semoga hatinya terpanggil oleh riuh pasar desa dan debur ombak pantai. Semoga setiap perundingan di forum global berubah menjadi jembatan subsidi yang stabil, kredit yang mendorong usaha rakyat, dan teknologi yang memperkuat kapabilitas lokal. Semoga kerja kolektif ini meneguhkan kedaulatan yang berpijak pada kesejahteraan bersama, hingga harapan di ujung cangkul menjadi kenyataan yang dirasakan seluruh negeri.