Seharian kemarin kita asyik bicara hijab. Ada yang melepas hijab, ada juga proklamir memakainya. Kolom komentar dipenuhi “mana dalilnya” tak terhindarkan. Sekarang, kembali ke laptop, ijazah Jokowi. Sebelumnya sudah saya kenalkan tokoh-tokoh yang mempermasalahkan ijazah itu. Ada Amien Rais, dr Tifa, dan Roy Suryo. Satu lagi sosok yang ikut dilaporkan pendukung Pakdhe ke polisi, Rismon Sianipar. Siapkan kopinya, mari kita kenalan dengan alumni UGM ini.
Namanya, Rismon Hasiholan Sianipar. Lahir 25 April 1977. Ia bukan hanya akademisi dan peneliti, tapi juga semacam detektif digital yang kalau dikasih amplop berisi fotokopi ijazah, bisa langsung mendeteksi usia kertas, jenis printer, bahkan niat asli pencetaknya. Tak heran, dunia pun mencatat namanya dalam bidang keamanan multimedia, pemrosesan sinyal/citra/video digital, kriptografi, komunikasi digital, forensik multimedia, serta kompresi dan pengkodean data. Sederhananya, dia bisa bikin video palsu nangis minta ampun di pojokan RAM.
Dari Pematangsiantar, ia menempuh pendidikan menengah di SMA Negeri 3 yang kemungkinan besar jadi tempat pertama ia belajar mendekripsi niat orang lewat gestur tangan teman sebangku. Ia melanjutkan kuliah di Universitas Gadjah Mada, jurusan Teknik, dan entah kenapa merasa belum cukup puas memelototi sinyal tak-stasioner—jadi dia meneliti sampai gelombang-gelombang disuruh ngaku siapa mereka sebenarnya lewat transformasi wavelet diskret. Tapi itu belum klimaks. Pada 2003, ia terbang ke Jepang dengan beasiswa Monbukagakusho, mungkin karena otaknya terlalu tajam untuk ditahan di satu negara. Ia menyabet gelar Master dan Doktor di Universitas Yamaguchi, dengan disertasi super santai yang memadukan tapis non-linear FitzHugh-Nagumo dan kriptografi kurva eliptik—kombinasi yang kalau dibaca orang biasa, bisa langsung merasa berdosa karena nilai matematika waktu SMA cuma cukup buat jaga koper di bandara.
Setelah jadi doktor, Rismon tidak langsung buka warung kopi. Ia terjun dalam penelitian dan pengembangan kriptografi dan forensik digital, menjalin kolaborasi riset dengan berbagai institusi di Jepang. Dalam dunia di mana orang sibuk cari filter Instagram, Rismon sibuk mematenkan metode pemrosesan citra berbasis reaksi-difusi—reaksi yang bisa membuat citra digital merenung atas eksistensinya sendiri. Kini ia mengabdi sebagai dosen di Universitas Mataram, tempat ia mengembangkan perangkat lunak berbasis MATLAB, Visual Basic .NET, C#, dan Java. Kalau ada yang bilang programming itu membosankan, itu karena mereka belum lihat GUI pemrosesan citra bikinan Rismon yang bisa membuat laboratorium kampus mendadak mirip pusat komando Avengers.
Namun, klimaks sesungguhnya muncul ketika Rismon tampil sebagai tokoh utama dalam sinetron akademik-politik Indonesia, Polemik Ijazah Jokowi. Di tengah gegap gempita demokrasi dan debat publik, Rismon tampil sebagai ahli forensik digital yang tak gentar bertanya, “Ini ijazah siapa?” Ia termasuk pihak yang dilaporkan ke Polda Metro Jaya karena mempertanyakan keaslian dokumen akademik sang mantan. Dalam balutan sarung ilmiah dan celana panjang kritis, ia menyatakan bahwa dosen bernama Kasmudjo yang disebut-sebut membimbing Jokowi, ikut bertanggung jawab atas dugaan pemalsuan ijazah. Dengan penuh hormat yang tipis setipis sinyal 3G, ia menyebut sang akademisi sebagai “penipu”, sambil menatap tajam ke arah berkas fotokopi yang entah sudah berapa kali disalin dengan mesin rusak.
Rismon bahkan mengguncang dunia perbuktian hukum dengan satu pertanyaan sederhana, kenapa polisi cuma terima fotokopi? Sambil geleng-geleng ala tukang servis AC yang lihat kabel putus, ia menyayangkan bahwa validitas barang bukti hanya sebatas hasil jepretan mesin fotokopi berdebu. Ia, sang penafsir bit dan byte, berharap dokumen asli bisa ditampilkan, diverifikasi, dipindai, dan diinterogasi sampai barcode-nya mengaku dosa.
Kini, ketika semua pihak saling menuding, membela, dan klarifikasi, Rismon tetap berdiri sebagai simbol ketekunan digital dan keberanian akademik. Dalam dunia yang penuh hoaks, dia muncul bukan dengan cuitan, tapi dengan matriks dan grafik Fourier. Mungkin, suatu hari nanti, ia akan jadi karakter dalam film laga “Forensik Wars: Rise of the Fotocopy”, lengkap dengan adegan slow-motion saat dia membuka folder PDF berisi kebenaran yang tak bisa dihapus.
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar