Mengenal Iwan Setiawan, Penyengsara 10 Ribu Buruh Ditangkap Kejagung

 

Pasti banyak buruh yang dikecewakan. Mungkin dizalimi. Mereka kehilangan pekerjaan dan harapan. Hanya bisa berdoa, dan doa itu sepertinya terkabul. Orang yang menyengsarakan mereka ditangkap Kejaksaan Agung. Siapkan kopi tanpa gula, ikut narasi ini dengan saksama.

Dulu, di tengah gemuruh mesin-mesin pemintal benang dan nyanyian buruh di pabrik Sritex, berdirilah seorang pria yang diyakini sebagai titisan Dewa Tekstil Nusantara, Iwan Setiawan Lukminto. Ia bukan sembarang Iwan. Ia adalah putra sulung dari almarhum H.M. Lukminto, pendiri kerajaan kain terbesar di Asia Tenggara. Lahir di Surakarta, 24 Juni 1975, Iwan muda meniti pendidikan tinggi langsung ke tanah Amerika, menyerap ilmu administrasi bisnis di Suffolk University, lalu membumbui dirinya dengan pengalaman elit di Lembaga Ketahanan Nasional. Sungguh, perpaduan antara sutra internasional dan brokat nasionalisme.

Kariernya di Sritex bukanlah kisah Cinderella. Ia tidak mencuci lantai pabrik. Ia langsung duduk nyaman sebagai Asisten Direktur sejak 1997. Dalam dua tahun, ia melesat menjadi Wakil Direktur Utama dan akhirnya menjadi Direktur Utama dari 2014 hingga 2022. Pada 2023, ia naik takhta sebagai Komisaris Utama, posisi yang tak hanya sakral tapi juga steril dari keringat buruh. Dalam parade kehormatan dunia usaha, namanya bergema, Ketua Umum Asosiasi Emiten Indonesia, Dewan Penasihat AEI, Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, hingga Dewan Kehormatan PB Wushu Indonesia, karena tentu saja, setiap taipan tekstil pasti butuh jurus kungfu untuk melawan audit.

Tak cukup dengan jabatan, ia juga menyandang gelar Forbesian. Pada masa jayanya, Forbes mencatat kekayaan Iwan mencapai 515 juta dolar AS, sekitar Rp 8,05 triliun. Nilai yang cukup untuk membungkus seluruh rakyat Solo dengan kain batik 12 lapis. Di bawah kepemimpinannya, Sritex menembus 30 negara, memproduksi seragam militer dari NATO sampai negara-negara yang mungkin belum bisa menunjuk Indonesia di peta. Tapi sayangnya, seragam-seragam hebat itu tak mampu membungkus lubang keuangan sebesar samudera.

Lalu datanglah Oktober 2024. Pailit. Perusahaan yang dulu disebut-sebut sebagai Benteng Terakhir Industri Tekstil Nasional itu tumbang, seperti wayang patah dalangnya. Sritex resmi tutup 1 Maret 2025, mengusir lebih dari 10.000 buruh ke dunia tanpa upah, tanpa harapan, dan tanpa pesangon. Sementara itu, utang perusahaan terdaftar mencapai Rp 29,8 triliun, termasuk Rp 4,2 triliun ke bank milik negara seperti BNI, BJB, Bank DKI, dan Bank Jateng. Sebuah utang yang nilainya cukup untuk membuat seluruh rakyat Indonesia sarapan gratis selama seminggu.

Puncak kisah ini, tentu saja, datang dalam adegan yang sinematik, Iwan ditangkap di Solo oleh Kejaksaan Agung, 20 Mei 2025. Ia diamankan atas dugaan korupsi dan penyimpangan kredit sebesar Rp 3,6 triliun dari bank-bank plat merah. Skenario film ini semakin liar, disebut ada penggelembungan piutang, pemalsuan dokumen, penggandaan agunan, hingga pencucian uang. Bukan sekadar drama bisnis, ini sudah level opera sabun yang disponsori pajak rakyat.

Begitulah nasib Iwan Setiawan Lukminto. Dari pengusaha yang dipuja-puji laksana penyelamat ekonomi nasional, kini menjelma menjadi simbol kemewahan yang menggandeng kehancuran. Di tangannya, benang tak lagi menenun kesejahteraan, melainkan mengikat leher para buruh dalam jerat kemiskinan massal. Maka mari kita beri tepuk tangan, bukan karena kagum, tapi sebagai salam perpisahan pada sebuah nama besar yang kini bergema bukan di gedung bursa, melainkan di ruang sidang.

Kini Iwan bukan lagi dewa kain. Ia bukan pahlawan nasionalisme tekstil. Ia hanyalah simbol dari tragedi korporasi, ketika satu orang naik jet pribadi, dan 10.000 buruh naik angkot pulang tanpa pesangon. Semoga kisah ini jadi pelajaran. bahwa yang menyulam kejayaan kadang adalah orang yang sama yang mengguntingnya dari dalam.

#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

Pos terkait