Denny JA
Bulan ini, September tahun 2023, media ataupun media sosial diramaikan oleh konflik di Rempang, Riau. Diberitakan di sana begitu banyak aksi-aksi protes, ekspresi kemarahan dan pencarian keadilan dari masyarakat setempat.
Di Rempang akan dibangun secara masif sekali proyek strategis nasional. Namun apakah gerangan yang terjadi? Proyek ini justru ditentang oleh masyarakat lokal, yang seharusnya paling diuntungkan oleh pembangunan di sana. Di manakah salahnya?
Kita mulai dengan data. Di Rempang akan dikembangkan menjadi Eco City. Akan ditanam investasi sebesar 381 triliun rupiah hingga tahun 2080.
Proyek ini akan menyerap banyak sekali tenaga kerja, lebih dari 300.000. Program ini pun sudah mengundang dan diikuti oleh perusahaan asing yaitu Xinyi Glass Holding. Ia bersedia menanamkan hingga 176 triliun rupiah.
Luas tanah yang akan dikelola sebanyak 8.000 hektar. Namun ini masalahnya. Ada 16 kampung adat yang harus dikosongkan.
Terjadilah itu bentrok dengan masyarakat setempat. Ini yang menjadi berita. Bahwa masyarakat melayu protes penggusuran warga pulau rempang di Batam. Juga dikatakan bahwa mereka marah karena “Sejarah kami akan hilang karena kami direlokasi.”
Juga menjadi berita belasan pelajar kena gas air mata karena bentrok dengan aparat polisi di sana. Terdengar pula kiprah ormas-ormas yang besar, seperti muhammadiah NU, Gus Durian ikut membela teman-teman dari warga Riau yang merasakan ketidakadilan.
Media asing pun diberitakan ikut menyoroti projek nasional di rempang. Berbagai video soal kemarahan publik luas beredar di media sosial.
Apa penyebabnya? Mengapa niat baik pembangunan menimbulkan luka sosial? Apa yang salah?
Ini karena tidak diterapkannya filosofi pembangunan yang lebih melibatkan masyarakat setempat. Membangun itu sejak awal harus diniatkan juga menjadikan masyarakat lokal sebagai partner, bukan musuh.
Tiga hal ini yang seharusnya sedini mungkin sudah diterapkan. Pertama, libatkan mereka, libatkan masyarakat setempat, sedini mungkin bahkan ketika tahap perencanaan.
Prinsip ini mulai dilakukan ketika konflik di Rempang sudah memanas. Kita pun mendengar solusi dari masyarakat lokal itu sendiri.
Mereka tidak ingin dipindahkan ke pulau lain. Tapi mereka bersedia jika hanya digeser di pulau yang sama. Sehingga mereka, misalnya, tetap bisa melaut sebagai nelayan di area yang sudah mereka kenali.
Masyarakat lokal juga tak ingin makam leluhurnya digusur. Ini harapan yang mudah diakomodasi. Tak hanya tidak digusur, makam itu justru itu dipugar, untuk lebih nyaman dikunjungi.
Kedua, berikan ganti rugi yang adil. Inipun mudah dilakukan. Harus dipastikan dan didahulukan bahwa mereka mendapatkan pengganti tanah yang sah, bersertifikat, di area yang layak. Di atas tanah itu, harus dibantu berdiri rumah yang mereka miliki sendiri.
Mereka harus pula menerima kompensasi uang cash karena hilang mata pencariannya. Jangan pula mereka dipisahkan dari komunitas lama, yang sudah terbina turun- temurun. Mereka bersama-sama komunitasnya dipindahkan bersama-sama di lokasi yang tak berjauhan.
Ketiga, ini yang paling penting, mereka berhak pula atas berkah pembangunan di wilayah nenek moyangnya.
Misalnya, mereka diikutkan bekerja dalam proses pembangunan itu, menjadi buruh, kontraktor, dilatih keterampilan sebagai mandor, atau ikut membuka warung untuk supply makanan bagi yang bekerja.
Ketika perusahaan berjalan, bagian dari keluarga mereka diajak bekerja sebagai karyawan. Perusahaan di sana juga menyiapkan dana rutin, corporate social responsibility, untuk ikut menumbuhkan komunitas masyarakat lokal setempat.
Dengan tiga prinsip ini, pembangunan tidak hanya berorientasi kepentingan pemilik modal saja. Tapi ini filosofi membangun bersama masyarakat lokal.
Bukan pembangunan yang dimusuhi karena tak adil pada masyarakat lokal, atau malah memusihi mereka. Tapi ini pembangunan yang didukung oleh penduduk setempat, karena mereka ikut dilibatkan sejak awal, diajak serta dan merasakan berkahnya.
Ini bukan sekedar masalah “teknik komunikasi” dalam membangunan. Ini adalah orientasi dan filosofi dalam membangun. ***