Denny JA
One Man One Vote. Satu warga, satu suara. Itulah kekuatan dan juga kelemahan demokrasi.
Suara satu orang profesor, satu orang pemikir, dan satu orang budayawan senior, itu sama nilainya dengan suara satu orang petani, satu orang buruh, atau satu orang wong cilik yang hanya tamat SMP saja.
Dengan kerangka ini kita merespon berita yang viral tentang Goenawan Muhammad soal Jokowi. Ia menyatakan kekecewaannya pada Jokowi dengan menitikkan air mata.
Mendengar utuh rekaman wawancara dengan Goenawan Mohamad di acara Rosi (Kompas TV), terasa di sana kesungguhannya, kejujuran, juga kesedihannya.
Pokok perkara yang disinggung Goenawan Mohamad adalah soal sikap Jokowi atas Gibran, dan putusan MK. Ia merasa Jokowi ingkar janji. MK tak lagi bisa dipercaya. Gibran terlalu dipaksakan untuk diberi jalan tol menjadi calon wakil presiden.
Tentu saja sebagai pandangan pribadi, renungan, juga tontonan Talk Show, ekspresi Goenawan Mohamad itu gurih dan bergizi. Pertanyaannya adalah seberapa banyak segmen masyarakat yang diwakili oleh Goenawan?
Seberapa banyak yang kecewa pada Jokowi soal Gibran? Dan sebaliknya, seberapa banyak orang yang justru optimis, masih percaya, justru mendukung langkah Jokowi?
Maka kita pun masuk kepada riset. Data. Fakta. Yang kita lihat tak lagi orang per orang, tapi kita menyelami populasi Indonesia secara agregat, secara makro, secara menyeluruh.
Dalam riset di seluruh dunia, ini biasa dilakukan melalui sampel, seperti yang biasa dikerjakan oleh lembaga survei.
KIta dapat menampilkan tidak hanya satu, tapi tiga hasil lembaga survei. Tentu lembaga survei yang dipilih adalah yang sudah memiliki jejak panjang di Pilpres sebelumnya.
Akurasi lembaga survei ini bisa dilacak di Google search. Tiga lembaga itu adalah yang kebetulan melakukan survei paska putusan MK, bahkan setelah Gibran dideklarasi sebagai cawapres.
Tiga lembaga survei itu: Indikator Politik, LSI dan LSI Denny JA. Bagaimana publik menilai Gibran sebagai cawapres Prabowo, tergambar dari seberapa banyak yang memilih pasangan itu: Prabowo- Gibran?
Jika publik kecewa, tentu saja mereka tak memilih pasangan yang mengecewakan. Jika mereka putus asa pada Jokowi, hal yang lumrah saja, jika mereka tak memilih pasangan capres dan cawapres yang paling terasosiasi dengan Jokowi.
Indikator Politik mengumumkan, bahwa setelah putusan MK, pasangan Prabowo dan Gibran justru paling unggul. Mereka dipilih rakyat lebih banyak ketimbang Ganjar dan Mahfud, juga Anies- Muhaimin.
Survei yang dilakukan LSI juga memberitakan realitas yang sama. Bahwa setelah putusan MK , pasangan Prabowo dan Gibran justru paling tinggi. Pasangan ini mengungguli Ganjar- Mahfud apalagi Anies- Muhaimin.
LSI Denny JA melakukan survei paska putusan MK juga memotret kemenangan Prabowo-Gibran yang sama. Dalam survei LSI Denny JA, lebih jauh lagi tergambar tingkat kepuasan publik atas Jokowi.
Paska putusan MK, approval rating Jokowi, kepuasan publik padanya masih sangat tinggi di angkat 76,7%. Apa arti semua data di atas?
Memang kesedihan dan kekecewaan Goenawan Muhammad itu layak menjadi renungan. Tapi pandangan seperti Goenawan Mohamad itu tidak meluas ke kalangan seperti wong cilik. Padahal untuk populasi Indonesia, wong cilik itu pemilih mayoritas.
Pandangan seperti Goenawan Mohamad hanya bergema di segmen kecil sebagian kaum terpelajar saja. Tak semua kalangan terpelajar satu pendapat. Di belakang masing masing pasangan capres- cawapres terdapat pula kaum terpelajar yang berbeda posisi.
Tapi bukankah presiden manapun tak bisa berpretensi ingin memuaskan semua segmen masyarakat dari wong gede hingga wong cilik?
Saya termasuk yang beberapa kali diajak diskusi dengan Jokowi. Pernah pula diskusi hanya empat mata saja. Majunya Gibran menjadi cawapres sama sekali bukan inisiatif Jokowi. Ini pasti!
Dipilihnya Gibran sebagai cawapres terutama justru karena pertimbangan elektoral. Bahwa Gibran dipilih karena memang ia paling potensial membawa kemenangan, seperti yang sudah ditunjukkan hasil survei.
Tentu saja kemenangan yang dimaksud adalah di momen ketika survei dilakukan. Apa yang akan terjadi di hari pencoblosan, 3 bulan dari sekarang (Feb 2024), tentu segala hal masih terbuka.
Dari kubu Prabowo sendiri, Gibran bukan pula satu- satunya cawapres yang dipertimbangkan. Ada saingan Gibran yang tak kalah hebat: Erick Tohir, Khofifah, Airlangga Hartarto.
Bahkan ketika putusan MK sudah memungkinkan Gibran bisa maju cawapres, masih belum pasti Gibran yang akhirnya dipilih oleh Prabowo dan koalisinya. Persaingan sangat alot bahkan sampai jam- jam terakhir.
Jika lebih banyak rakyat yang kecewa pada Jokowi, dan Gibran, seperti yang disuarakan oleh Goenawan Mohamad, hasil survei Prabowo- Gibran akan jeblok. Kenyataanya, Prabowo- Gibran justru paling unggul.
Hal yang jauh lebih mendasar adalah sikap kita kepada demokrasi, hak asasi dan konstitusi dalam menyikapi kasus Gibran sebagai calon wakil presiden.
Dalam demokrasi dan hak asasi, seorang warga tak boleh dilarang menjadi calon presiden (atau jabatan apapun yang dipilih lewat pemilu) semata hanya karena ia anak petani, ataupun semata ia anak presiden, atau semata karena ibu atau bapaknya sedang menjabat.
Hal lain yang juga fundamental: yang tak dilarang oleh konstitusi jangan dilarang oleh opini publik. Periksa saja konstitusi di aneka negara demokrasi di dunia. Tak ada larangan anak presiden mencalonkan diri sebagai calon presiden bertarung dalam pemilu ketika ayahnya masih menjadi presiden.
Jika tak dilarang oleh konstitusi mengapa pula harus dilarang oleh budayawan, pemikir, ahli hukum, dan lain sebagainya.
Bukankah yang menjadi kata akhir nanti adalah pilihan rakyat banyak secara menyeluruh, bukan pilihan para cendikiawan, ahli hukum, dan orang- perorang lainnya.
Kita menghargai air mata Goenawan Mohamad. Tapi kita juga menghargai air keringat lebih banyak orang yang memiliki pandangan yang berbeda.***
***Transkripsi yang dilengkapi dari video EKSPRESI DATA Denny JA
*Dibolehkan mengutip dan menyebar luaskan video/tulisan di atas