Jokowi, SBY, Megawati dan Pemimpin Nasional Tetap Kawal Pemerintahan Presiden Prabowo

 

Surabaya-MENGHIDUPKAN kembali Dewan Pertimbangan Agung (DPA) adalah Wacana yang menghentak kesadaran kolektif bangsa Indonesia dalam ranah ketatanegaraan Indonesia. Dan, sebaiknya para pemimpin nasional dan mantan Presiden sepatutnya tetap terlibat dalam memajukan bangsa dan negara, seperti berada di lembaga negarab misalnya di DPA. Mereka, seperti Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo seyogianya tetap mengawal kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto periode 2024-2029.

“Ikhwal Dewan Pertimbangan Agung yang menguat dalam perbincangan di media, menjadi tema besar dan sudah menjadi wacana publik. Tentu terkait menghidupkan kembali DPA bukan hal haram untuk diperbincangkan. Maka, tema terkait DPA harus kita dorong sebagai ikhtiar mencerdaskan bangsa dalam berbangsa dan bernegara,” kata Direktur Eksekutif Pranata Kebijakan Politik Nasional (PKPN) Bambang Widjanarko Setio kepada wartawan, Selasa (30/7/24).

Menurut Bambang yang juga Ketua DPD Prabowo Mania Jawa Timur bahwa setiap bangsa dalam sebuah negara, tidak akan terlepas dari perjalanan sejarahnya, termasuk sejarah politik nasional yang menjadi bagian dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

“Indonesia sebagai sebuah negara selalu dihadapkan pada berbagai tantangan yang berbeda yang mengharuskannya untuk menyesuaikan diri. Indonesia harus agresif dalam upaya mencapai cita-cita dan tujuannya,” kata Bambang.

Bambang mengatakan, negara perlu memperbaiki diri dan melakukan perbaikan-perbaikan sistem. Mengubah pendekatan yang tidak berhasil ke cara yang baru, merupakan hal lumrah bagi negara yang berjuang menggapai keadilan dan kesejahteraan rakyatnya. Semua itu harus diperjuangkan, termasuk membangun sistem ketatanegaraan secara akseleratif,” kata Bambang.

Dalam beberapa waktu terakhir, kata Bambang, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan wacana mengembalikan konstruksi-konstruksi negara lama seperti naskah asli Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan Dewan Pertimbangan Agung.

Sebagaimana diketahui bahwa Wacana Amandemen Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) ke naskah asli UUD 1945. Hal ini dicanangkan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD) La Nyalla Mataliti. Apa yang diwacanakan La Nyalla Mataliti didukung oleh Bambang Soesatyo selaku Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR).

Sejak tahun 2023, La Nyalla Mataliti menegaskan inisiatif ini dengan alasan hilangnya marwah bangsa Indonesia sejak amandemen tahun 1999-2002, serta pemilihan presiden secara langsung tidak cocok untuk bangsa Indonesia.

Menurut Bambang, upaya menghidupkan kembali DPA justru semakin lantang digaungkan. DPA direvitalisasi kembali dengan mengubah Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi DPA melalui revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres. Dukungan untuk menghidupkan kembali DPA ini terinspirasi oleh keinginan untuk membuat presidential club seperti di Amerika Serikat.

Bambang menambahkan bahwa menghidupkan kembali sistem-sistem ini menimbulkan pertanyaan tentang perjalanan sejarah dan hukum tata negara yang melandasi berbagai perubahan ini. Beberapa kritik menyoroti kurangnya urgensi untuk wacana ini dilakukan, dan cederanya sistem yang akan terjadi jika wacana-wacana ini kembali dihidupkan.

“Amandemen konstitusi adalah langkah yang wajar untuk menghadapi terpaan perubahan zaman. Akan tetapi. amandemen yang tidak mengedepankan rasionalitas tata negara yang baik, urgensi yang berlandaskan kepentingan publik, justru akan menghilangkan kemajuan sistem pemerintahan,” kata Bambang.

Pengembalian sistem pemilu menjadi pemilihan tertutup oleh MPR, dengan alasan ketidaksiapan Indonesia dalam melaksanakan pemilihan langsung serta menjauhnya Indonesia dari Pancasila, seperti jauh panggang dari api.

“Pemilihan langsung justru merupakan manifestasi dari demokrasi di mana rakyat secara langsung berdaulat untuk memilih pemimpinnya dan salah satu hasil perjuangan Reformasi,” kata Bambang.

Sebaliknya, menurut Bambang, jika MPR sebagai representasi rakyat diberikan mandat kembali untuk memilih pemimpinnya memiliki risiko kembali kepada kepentingan politik yang tidak selaras dengan kepentingan rakyat, seperti yang terlihat dalam sejarah.

“Jika ada masalah dalam sistem demokrasi, yang perlu diperbaiki adalah mekanisme teknis pemilu dan reformasi pola pikir para aktor yang terlibat, termasuk partai politik dan rakyat itu sendiri secara komprehensif,” tandas Bambang.

Di sisi lain, menurut Bambang, jika kemudian Joko Widodo, dan mantan Presiden Republik Indonesia masuk dalam struktur DPA, tentu saja tidak menjadi problem, dengan tetap in the track sesuai dengan tata kelola kenegaraan.

“Indonesia adalah Negara Besar dan menghargai para pemimpin nasional yang menjadi bagian penting dalam aksentuasi ikhtiar mewujudkan Indonesia sebagai negara maju, modern dan berwawasan global dan mengambil peran penting dari percaturan dunia internasional. Karena itu, seluruh warga bangsa, termasuk para pemimpin nasional dalam memanifestasikan kehebatan dan kejayaan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang besar dan disegani bangsa-bangsa lainnya di dunia,” kata Bambang.

Pos terkait