by M Rizal Fadillah
Presiden Jokowi ke luar negeri lagi. Kali ini ke Ukraina dan Rusia dengan didahului ikut dalam pertemuan KTT G-7 di Jerman. Konon ke Ukraina dan Rusia tujuannya adalah mendamaikan kedua negara yang sedang berperang. Sebagai presidency G-20 rute perjalanan ini boleh terbilang menarik, akan tetapi kunjungan tersebut ternyata sepi dari pemberitaan dunia. Mungkin dianggap perjalanan piknik.
Piknik karena di samping berangkat bersama istri bu Iriana juga dengan basis keraguan publik. Ragu akan kemampuan Jokowi untuk menjadi penengah. Presiden Jokowi yang di dalam negeri saja gagal mendapat simpati rakyat apalagi dipercaya penuh baik oleh Ukraina maupun Rusia.
Bertemu dengan Presiden Volodymyr Zelenskiy di Kiev. Pembicaraan antara lain soal kepedulian Indonesia terhadap perdamaian, siap sampaikan pesan ke Putin, kran impor pangan, serta undangan pertemuan G-20 November di Bali. Ketika bertemu Presiden Rusia pesan Zelensky tersebut konon telah disampaikan. Jokowi mengundang Putin ke G-20 dan Putin sejak awal telah menyatakan siap hadir.
Zelensky akan hadir tetapi melihat kondisi dalam negeri dahulu katanya, demikian juga akan melihat komposisi peserta pertemuan di Bali tersebut. Sebagaimana diketahui Amerika dan sekutunya menyatakan tidak akan hadir jika Putin diundang. Jokowi tentu pusing.
Tiga hal menarik dari perjalanan Jokowi dan Iriana ini, yaitu :
Pertama, tampilan “Islami” Ibu Iriani berjilbab tertutup. Padahal pertemuan G-7 maupun Rusia-Ukraina tidak berhubungan dengan langkah keagamaan. Politisi PDIP Efendi Simbolon mengaitkan dengan “G-3” soal keinginan Jokowi untuk jabatan 3 periode.
Kedua, langkah “luar” yang gencar adalah untuk menutupi situasi “dalam” yang ambyar. Sebenarnya keduanya juga ambyar. Komunikasi global Jokowi tidak lancar. Penghargaan dunia internasional atas Presiden Jokowi lebih pada basa basi ketimbang apresiasi.
Ketiga, efekivitas kunjungan masih disangsikan. Misi penengah perdamaian perang Rusia dan Ukraina adalah “mission impossible”. Rusia menyerang Ukraina atas dasar “kill or to be killed” ada NATO dan kepentingan Barat di Ukraina. Perdamaian terjadi jika ada kesepakatan antara Putin dengan Biden bersama NATO. Itu yang semestinya diarah oleh Jokowi.
Pertanyaan mendasar dari misi Jokowi adalah kepentingan mana yang lebih dominan luar negeri atau domestik. Semakin sering bergerak ke luar negeri sebenarnya Jokowi sedang lari dari masalah dalam negeri. Mencoba mengalihkan diri melalui performance sebagai tokoh internasional. Sesuatu yang dianggap ilusi karena Jokowi sendiri gagap dalam berkomunikasi.
Sangat berlebihan ungkapan anggota DPR bahwa upaya-upaya mendamaikan Rusia dan Ukraina akan membawa Jokowi mendapat hadiah perdamaian Nobel dan membuka jalan untuk jabatan Sekjen PBB.
Mungkin ada netizen yang bergembira dan berujar bahwa lebih baik Jokowi menjadi Presiden dunia daripada menjadi Presiden Indonesia. Biar dunia pun ikut merasakan betapa nikmatnya banyak dibohongi oleh janji dan ocehan Jokowi.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 1 Juli 2022