Selama satu dekade kekuasaan Presiden Joko Widodo (2014–2024), masyarakat Indonesia menjadi saksi berbagai pembangunan infrastruktur fisik yang megah. Namun, di balik jalan tol, bandara, dan kereta cepat, tersembunyi pula jejak luka sosial, ekonomi yang tak tumbuh optimal, merosotnya kualitas demokrasi, dan merebaknya ketidakpercayaan publik terhadap lembaga hukum serta keadilan.
Netizen sebagai pengawal kesadaran kolektif bangsa kembali menyusun ulang catatan-catatan tersebut. Bukan untuk mengungkit luka semata, melainkan untuk mengingatkan bahwa kekuasaan tak boleh dibiarkan berdiri di atas penderitaan rakyat dan penegakkan hukum adalah solusi tepat menuju masa depan.
*1. Infrastruktur Megah, Ekonomi Stagnan.*
Pemerintahan Jokowi dibanjiri proyek mercusuar, tetapi tidak berhasil menjadi mesin pertumbuhan ekonomi. Dari data BPS, selama 2014–2023 pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak pernah menembus 6%, dan bahkan jatuh ke minus 2,07% di tahun 2020 akibat pandemi. Namun setelah itu pun, pemulihan tak signifikan.
Utang negara membengkak menjadi Rp. 8.275 triliun per Maret 2024 (Kemenkeu). Proyek-proyek infrastruktur yang tidak produktif justru dijual ke asing, seperti ruas tol Trans Jawa ke konsorsium Malaysia dan Kanada (CNBC Indonesia, 2023), menandakan keuangan negara dan BUMN tidak cukup kuat mengelola hasilnya.
*2. Ekonomi Rakyat Terjepit.*
Lonjakan harga sembako dan daya beli yang merosot menyebabkan keresahan rakyat. Harga beras melonjak hingga Rp. 14.250/kg (Info Pangan Jakarta, Maret 2024). Pengangguran terbuka stagnan di angka 7–8 juta jiwa selama lima tahun terakhir.
Lemahnya ekonomi mendorong banyak warga mencari jalan pintas terjerat dalam judi online dan pinjaman ilegal / pinjol. Data Satgas Pemberantasan Judi Online menyebut perputaran uang judi daring mencapai Rp. 327 triliun pada 2023.
*3. Demokrasi Memburuk, Represi Merajalela.*
Demokrasi jeblok, Indeks Demokrasi Indonesia versi The Economist Intelligence Unit (EIU) merosot dari 6,97 (2014) ke 6,53 (2023). Indonesia turun dari flawed democracy menuju hybrid regime.
Puncaknya terjadi saat penolakan rakyat terhadap Omnibus Law Cipta Kerja (2020) dibalas represi brutal. Ratusan mahasiswa dan aktivis ditangkap, misalnya penangkapan terhadap Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, dll. Jerat pasal karet UU ITE digunakan secara sistematis, membungkam kritik.
*4. KPK Melemah, Korupsi Menguat.*
Revisi UU KPK (2019) menjadi palu godam penghancur independensi lembaga antikorupsi. Penyidik senior seperti Novel Baswedan disingkirkan. Akibatnya, Indeks Persepsi Korupsi dari Transparency International meluncur ke angka 34 (2023), terendah dalam satu dekade. Penggunaan anggaran negara untuk covid tanpa batasan, alhasil mincul berbagai penyalahgunaan yang berkedok artas nama kesehatan rakyat.
*5. Bisnis Anak Presiden dan Privilege Kekuasaan.*
Kaesang dan Gibran, dua putra Presiden Jokowi mendapat modal besar dalam bisnis makanan dan digital. Usaha seperti Sang Pisang, Markobar, hingga bisnis digital dengan GK Hebat menunjukkan indikasi kuat kedekatan kekuasaan dengan modal. Kemudian kemudahan anak dan mantu menuju Walikota Solo, Walikota Medan hingga Gubernur Sumatera Utara dan Wapres RI. (Tirto.id, 2020; Tempo, 2021).
*6. Polisi Bermasalah, Tragedi Kemanusiaan*
Satgassus Merah Putih yang dibentuk internal Polri menjadi sumber masalah setelah skandal pembunuhan Brigadir J oleh Irjen Ferdy Sambo (2022). Tragedi Stadion Kanjuruhan (1 Oktober 2022) yang menewaskan 135 suporter juga menguak buruknya profesionalisme kepolisian, tetapi tak ada jenderal yang benar-benar dihukum maksimal. Penyalahgunaan wewenang hingga keterlibatan oknum polri dalam bernagai kasus hukum. (Komnas HAM, 2023)
*7. Politisasi Agama dan Kekerasan Terhadap FPI.*
Di era Jokowi, politik agama menjadi alat kekuasaan yang menggerus hak sipil masyarakat. Penangkapan Munarman, SH, Sekretaris Umum FPI, dilakukan pada 27 April 2021 di rumahnya, dituduh terlibat terorisme. Padahal, dakwaan itu lemah dan mengandalkan narasi dugaan bai’at di forum terbuka tanpa bukti kuat keterlibatan langsung. (Kompas, Detik, CNN Indonesia, 2021)
Lebih biadab lagi adalah peristiwa penembakan 6 anggota Laskar FPI oleh polisi pada 7 Desember 2020 di Tol Jakarta–Cikampek. Komnas HAM menyimpulkan bahwa empat dari enam pemuda FPI ditembak secara extrajudicial killing, tindakan pelanggaran HAM berat. Namun hingga kini, tak ada satu pun aktor intelektual di institusi Polri yang dihukum, hanya dua personel yang divonis ringan dan bebas. (Laporan Komnas HAM, Januari 2021; Tempo, Februari 2021)
Peristiwa ini memperdalam luka kepercayaan publik, karena alih-alih keadilan ditegakkan, justru organisasi FPI dibubarkan secara administratif oleh pemerintah pada 30 Desember 2020, memperlihatkan bagaimana kekuasaan menggunakan hukum sebagai alat pemberangusan oposisi.
*8. MK Digunakan Untuk Nepotisme Politik*
Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 menjadi pintu masuk Gibran Rakabuming untuk jadi Cawapres. Padahal Ketua MK saat itu, Anwar Usman, adalah pamannya juga adik ipar Jokowi Presiden RI saat itu. Ia dijatuhi sanksi pelanggaran etika berat, tapi putusannya tetap digunakan. (MKMK, Oktober 2023)
*9. Luka Berdarah Demokrasi 22 Mei 2019*
Tragedi 22 Mei 2019 menjadi luka kolektif. Setelah KPU mengumumkan hasil Pilpres di tengah malam, demonstrasi pecah. Sedikitnya 10 warga tewas, ratusan luka. Komnas HAM menyatakan polisi menggunakan kekuatan berlebihan, tetapi tidak ada penegakan hukum yang adil. (Komnas HAM, Juni 2019)
Tragedi 22 Mei 2019 menjadi titik balik dalam dinamika politik Indonesia. Setelah pengumuman hasil Pilpres 2019 oleh KPU yang dilakukan pada malam hari, terjadi demonstrasi besar-besaran yang berujung pada kerusuhan. Sedikitnya 10 warga tewas, dan ratusan lainnya luka-luka. Komnas HAM menyatakan bahwa aparat keamanan menggunakan kekuatan berlebihan, namun hingga kini belum ada penegakan hukum yang memadai terhadap pelaku kekerasan tersebut.
Di tengah ketegangan politik pasca-Pilpres, langkah mengejutkan terjadi ketika Prabowo Subianto bertemu dengan Joko Widodo di Stasiun MRT Jakarta pada 13 Juli 2019. Pertemuan ini menandai awal dari rekonsiliasi antara kedua tokoh yang sebelumnya bersaing ketat dalam Pilpres.
Peran penting dalam proses rekonsiliasi ini dimainkan oleh Sufmi Dasco Ahmad, Ketua Harian Partai Gerindra. Dasco aktif dalam menjembatani komunikasi antara Prabowo dan Jokowi, serta merancang konsep pertahanan yang kemudian diterima oleh Presiden Jokowi. Menurut Dasco, saat Prabowo dipanggil Presiden, terjadi pertukaran ide yang kemudian diimplementasikan dalam kebijakan pertahanan nasional. (Antara News)
Akhirnya, pada 23 Oktober 2019, Prabowo Subianto resmi dilantik sebagai Menteri Pertahanan dalam Kabinet Indonesia Maju. Keputusan ini menuai pro dan kontra, mengingat sebelumnya Prabowo adalah rival politik Jokowi. Namun, langkah ini dianggap sebagai bagian dari upaya rekonsiliasi nasional dan stabilitas politik.
Pertanyaannya kini adalah apakah setelah Prabowo menjadi Presiden selanjutnya akan berada diposisi yang sama seperti yang telah direkonsiliasikan oleh tokoh central saat itu. Sufmi Dasco, atau dengan berbagai manuver akan bertemu yang ujungnya berpihak kepada rakyat? Tentu untuk membuktikan kebenarannya kita perlu saling memahami posisi masing-masing pihak dengan berbagai pemakluman, bahwa tak mudah bagi Presidenn Prabowo menunjukkan sikap yang diharapkan banyak rakyat ditengah jebakan yang perlu dikaji dengan seksama dan penuh kehati-hatian, dimana transisi kekuasaan esensinya tidak sekedar melaksanakan kekuasaan namun kecermatan dalam menggunakan dan menyingkirkan suatu yang tepat tanpa menimbulkan efek yang lebih rumyam, dan tanpa mengabaikan penegakkan hukum yang berlaku.
*Penutup*
Di tengah gegap gempita pembangunan fisik, ada suara-suara yang dikubur hidup-hidup oleh kekuasaan. Tapi rakyat tidak diam. Mereka menulis ulang sejarah dari perspektif luka, bukan puja-puji.
Kini, ketika Jokowi tak lagi di puncak kekuasaan, netizen justru bergerak menyusun catatan kelam itu. Karena kebenaran yang direpresi akan bangkit sebagai perlawanan. Dan demokrasi yang dibungkam akan tumbuh kembali dari tangan rakyat yang tak pernah lupa.
_Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)._
Jakarta, 16 Mei 2025, Jumat, 08:09 Wib.
Sumber:
BPS, Kemenkeu RI, Tempo, Tirto, Kompas, CNN Indonesia, Detik, InfoPangan, Transparency International, Komnas HAM, MKMK.
Laporan EIU: Democracy Index 2023, Laporan Komnas HAM: Investigasi Kanjuruhan & Penembakan FPI (2021).