Judul ini tentu bukan untuk mengadu dua tokoh secara personal, tetapi sebagai simbol: pertarungan antara suara rakyat dan kekuasaan negara, antara hak konstitusional warga dan tanggung jawab pejabat publik. Eggi Sudjana adalah seorang aktivis senior yang telah lama berkecimpung dalam dunia pergerakan. Sedangkan Joko Widodo, atau Jokowi, adalah Presiden Republik Indonesia ke-7 yang telah menyelesaikan masa jabatannya selama 10 tahun (2014–2024).
Keduanya berada di posisi yang berbeda, Eggi adalah warga negara biasa yang dijamin haknya oleh konstitusi, sedangkan Jokowi adalah mantan kepala negara yang bertanggung jawab menjamin perlindungan terhadap hak-hak rakyat selama masa jabatannya. Maka, pertanyaan mendasarnya bukan siapa yang lebih kuat secara posisi politik, tapi siapa yang lebih konsisten dalam menjunjung nilai demokrasi dan konstitusi?
Dari sisi penulis, saya tidak tertarik untuk mengulas panjang soal polemik ijazah Jokowi, apakah asli atau palsu. Bagi saya, itu bukanlah isu substansial dalam menilai kepemimpinan seorang presiden. Justru jika isu ini terus-menerus digoreng, besar kemungkinan Jokowi dan lingkar kekuasaannya akan mengambil keuntungan dari popularitas negatif, dan ini bukan tidak mungkin malah menguntungkan secara politik karena menutupi isu-isu tanggung jawab Jokowi yang jauh lebih krusial tentang hasil pembangunan yang telah dia lakukan.
Yang lebih penting untuk kita kritisi adalah: apa yang telah dilakukan Jokowi selama 10 tahun berkuasa? Apa yang ia wariskan untuk bangsa ini? Apakah janji Nawacita ditepati, atau justru dikompromikan oleh kepentingan politik dan ekonomi yang sempit?
Sebaliknya, tudingan terhadap aktivis seperti Eggi Sudjana soal laporan atas dugaan ijazah palsu itu bukan hal yang perlu dikhawatirkan secara berlebihan jika dihadapkan dengan kenyataan yang diwariskan Jokowi kepada Presiden Prabowo dan rakyatnya yang kini masih merasakan dampak dari kebijakan Jokowi saat masih menjabat . Sebab ini justru bagian dari kontrol warga terhadap kekuasaan. Sebagai pejabat publik, Jokowi berkewajiban memberikan bukti autentik atas identitas dan rekam jejaknya, apalagi jika hal itu menjadi pertanyaan publik. Jika memang tidak ada yang disembunyikan, seharusnya persoalan ini bisa selesai dengan transparansi, bukan dibalas dengan kriminalisasi, bahkan membiarkan spekulasi soal ijazah menggelinding dan menjebak orang ke ranah hukum.
&Rekam Jejak yang Tidak Bisa Disangkal*
Tahun 2019 menjadi catatan kelam dalam perjalanan demokrasi di era Jokowi. Eggi Sudjana, bersama tokoh-tokoh lainnya seperti Mendiang Lieus Sungkharisma (Tokoh Tionghoa), ditahan atas tuduhan makar hanya karena menyuarakan protes terhadap hasil pemilu. Mereka bukan memanggul senjata dan melatih teroris, melainkan menyampaikan opini dan aspirasi di ruang publik, hal yang dilindungi oleh Pasal 28E UUD 1945.
Lebih dari itu, puluhan pendukung oposisi saat itu mengalami penangkapan dengan alasan keamanan negara. Jika negara menganggap opini rakyat sebagai ancaman, maka yang sedang dipertaruhkan bukan hanya kebebasan sipil, tapi juga esensi demokrasi itu sendiri.
Laporan dari lembaga HAM internasional seperti Amnesty International dan Freedom House menunjukkan bahwa selama dua periode Jokowi, terjadi penurunan kualitas demokrasi dan peningkatan tindakan represif terhadap kritik dan aktivisme sipil.
Tragedi Kanjuruhan pada Oktober 2022 menjadi cermin lain dari kegagalan negara melindungi warganya. Ratusan orang tewas dalam insiden yang seharusnya bisa dicegah jika prosedur keamanan diterapkan dengan benar. Yang mengejutkan, penegakan hukum atas tragedi ini pun terkesan setengah hati. Tidak ada pertanggungjawaban yang signifikan dari aparat negara. Presiden membentuk tim pencari fakta, namun hasilnya seperti menguap tanpa makna dalam ranah keadilan.
Jika negara hanya hadir dalam bentuk kekuasaan, tapi absen dalam tanggung jawab, maka wibawa negara justru hancur di mata rakyatnya sendiri.
*Eggi vs Jokowi, Siapa yang Menang?*
Jika ukurannya adalah kekuasaan dan citra, mungkin Jokowi terlihat menang. Namun jika tolok ukurnya adalah konsistensi terhadap prinsip kebenaran, keberpihakan pada rakyat, dan penghormatan terhadap hak konstitusional, maka suara rakyat yang terus mengingatkan, seperti yang dilakukan Eggi, adalah representasi dari kemenangan moral.
Sejarah akan mencatat bukan hanya mereka yang memimpin, tetapi juga mereka yang berani melawan saat kebenaran dibungkam.
*Penutup*
Kini saatnya publik tidak lagi terpancing untuk memperdebatkan hal-hal personal seperti ijazah atau asal-usul, karena itu hanya akan membawa kita menjauh dari hal-hal substantif. Kita harus kembali kepada pertanyaan mendasar: apa yang telah diberikan seorang pemimpin kepada rakyatnya selama ia berkuasa?
Jokowi mungkin telah selesai secara jabatan, tapi belum selesai secara tanggung jawab sejarah. Begitu juga rakyat seperti Eggi Sudjana, yang tetap punya ruang untuk menagih janji-janji yang tertunda.
_Oleh: Agusto Sulistio – Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)._
Kalibata, Jaksel, Senin, 5 Mei 2025, 08:09 Wib.
_Pesan terkirim ke sekitar ribuan netizen melalui WhatsApp Group by Blasting Algoritma Cloud System “Agusto Sulistio” The Activist Cyber._