Sistem Penyiaran Indonesia tegas diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, namun pada kenyataannya masih ada yang melakukan monopoli siaran.
Jakarta, SuaraKita.id – Raksasa media MNC grup bukan rahasia umum lagi sudah menguasai langit Indonesia melalui siaran-siarannya yang disebar lewat sejumlah media milik Harry Tanoesoedibjo.
Saat ini saja, MNC Group telah menguasai kepemilikan dan penguasaan atas empat Lembaga Penyiaran Swasta (LPS).
Televisi yang sudah tersebar hampir di seluruh Indonesia, diantaranya LPS Televisi ; RCTI, MNC TV (dulunya TPI), Global TV dan iNews.
MNC Group juga telah memiliki Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) yaitu MNC Sky Vision yang bersiaran melalui satelit serta baru-baru ini juga MNC Group telah melakukan akuisisi saham sebesar 61 persen atas salah satu Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) melalui Satelit yaitu K-Vision. Dan group ini juga sudah memiliki beberapa Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) Radio di beberapa daerah di Indonesia. Dan banyak usaha lainnya lagi dalam industri penyiaran.
Atas penguasaan kepemilikan media itu, Bernard Deny Namang, Ketua Umum Generasi Muda Penerus Perjuangan Kemerdekaan (GMPPK) menilai jika hal itu akan berujung kepada tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan asas, tujuan dan arah sistem penyiaran Indonesia.
“Salah satu bentuk dan wujud yang telah dilakukan dalam beberapa tahun ini yaitu melakukan komersialisasi terhadap program siaran Lembaga Penyiaran Swsata (LPS) Televisi mereka diantaranya RCTI, MNC TV, Global TV dan iNews kepada masyarakat.” ujar Bernard Deny Namang, Kamis (3/10/2019).
Bernard menambahkan, pada 17 Juli 2019 yang lalu, MNC Group telah menutup akses rakyat Indonesia terutama yang berada di wilayah pedalaman dan perbatasan Indonesia untuk mendapatkan siaran-siaran LPS TV tersebut dari Satelit Palapa D. Sehingga hanya rakyat Indonesia yang berada dalam wilayah jangkauan siaran LPS TV menggunakan sistem teresterial yang sebagian besar hanya ada di kota-kota besar yang dapat menyaksikan siaran-siaran tersebut secara gratis. Namun tidak untuk rakyat Indonesia yang berada di luar wilayah jangkauan.
“Yang lebih miris, masyarakat yang berada di wilayah pedalaman dan perbatasan Indonesia, siaran LPS TV teresterial mereka dipaksa untuk membayar apabila ingin menonton siaran tersebut yaitu dengan berlangganan melalui LPB Satelit mereka yaitu MNC Sky Vision dan K-Vision.” tukas Bernard.
Hal ini menurut Bernard menunjukkan bukti bahwa MNC Group telah melakukan monopoli informasi dan siaran mereka kepada rakyat Indonesia. Kondisi ini tentunya menyebabkan ketidakadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Praktek konglomerasi yang berujung kepada monopolistik dagang khususnya dibidang penyiaran akan membuat UKM UKM Penyiaran mati secara perlahan. Di sini jelas bahwa MNC Group sebagai Korporasi telah melakukan praktek monopolistik serta melakukan persaingan usaha tidak sehat.” tambahnya lagi.
Atas hal itu, GMPPK mengajukan 3 tuntutan kepada bos MNC group Harry Tanoesoedibjo, antara lain,
1. Meminta pemerintah untuk mencabut izin siaran MNC TV, Inews, Global TV dan RCTI.
2. Meminta Presiden untuk tidak melibatkan dan memasukan seluruh rekomendasi dari terduga penjahat penyiaran CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo, keluarga kerabat beserta kroni kroninya dalam penyusunan kabinet kerja di pemerintahan Jokowi-maruf 2019-2024.
3. Meminta KPIP mengeluarkan surat rekomendasi pencabutan izin siar dari MNC Group.
Seperti diketahui dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 soal pengaturan yang komprehensif mengenai Sistem Penyiaran Indonesia disebutkan bahwa, Penyiaran Indonesia diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab.