Butir Pupuk, Butir Kehidupan

Oleh: Arvindo Noviar

Negeri ini tak selalu dibangun dari gemerlap lampu kota atau tebalnya kitab undang-undang. Ia tumbuh dari tanah. Dari lumpur yang basah di pagi hari, dari punggung yang membungkuk sebelum ayam jantan terjaga. Dari petani yang tak pernah masuk berita, namun selalu hadir di piring makan kita.

Dan hari ini, kita bicara tentang sesuatu yang kerap dianggap kecil tapi sesungguhnya menentukan arah hidup bangsa: pupuk. Ia bukan benda suci, bukan pula alat negara. Tapi di dalam butirnya tersembunyi rahasia paling purba: kehidupan bisa tumbuh, kalau tanah diberi makan.

Tahun-tahun berlalu, dan pupuk menjadi keluhan sunyi. Petani mengantre di kios seperti pengemis di lumbung negara. Membawa fotokopi KTP, SPPT, dan surat rekomendasi yang dilipat dari musim ke musim. Tapi yang mereka dapat kadang hanya karung kosong dan janji yang menguap.

Tapi kini, angin perlahan mulai berputar. Negara, yang selama ini lebih gemar bersandar pada pidato, mulai menjejak tanah.

Tahun 2025, pemerintah menetapkan 9,55 juta ton pupuk bersubsidi bagi petani kecil, dengan nilai Rp46,8 triliun. Untuk pertama kalinya dalam sejarah penyaluran pupuk bersubsidi, distribusi dimulai sejak tanggal satu Januari. Pada hari pertama tahun, kios pupuk telah buka. Petani bisa menebus pupuk hanya dengan KTP. Tak perlu bolak-balik kantor desa. Tak perlu mengetuk pintu-pintu kebijakan yang biasanya dingin.

Inilah momen langka: negara hadir, bukan sebagai tuan, tapi sebagai kawan. Apakah semua telah selesai? Tentu belum. Tapi dalam bangsa yang terlalu sering salah arah, langkah pertama ke jalan yang benar adalah sesuatu yang layak disyukuri.

Lebih dari 600 ribu petani telah menebus 400 ribu ton pupuk di awal tahun. Angka itu bukan sekadar statistik. Itu adalah ratusan ribu ladang yang tak ditinggalkan. Itu adalah nasi yang tetap bisa ditanak, harga yang tetap bisa ditebus, dan anak-anak yang tetap bisa sekolah karena sawahnya tak mati.

Negara pun tak berhenti pada distribusi. Lewat satu program kolaboratif, lebih dari 128 ribu petani kini dibina secara langsung. Lahan seluas 151 ribu hektare digarap bersama. Tak hanya diberi pupuk, petani juga mendapat pendampingan, pembiayaan, bahkan akses pasar. Bukan sekadar bantuan, tapi pembentukan ekosistem. Negara tidak hanya memberi, tapi menemani.

Namun, kenyataan tak bisa dirias terlalu manis. Di Ngawi, misalnya, kebutuhan pupuk mencapai 137 ribu ton, sementara alokasi hanya 79 ribu. Maka negara harus lebih dari sekadar hadir. Ia harus lebih peka, harus membuka mata lebih lebar dan mendengar langsung, bukan sekadar membaca laporan.

Petani tak pernah mengharap negara menjadi malaikat yang turun dari langit, menyelamatkan mereka dengan sayap kemuliaan. Mereka hanya ingin negara menjadi pelipur lara, bukan batu sandungan di setiap langkahnya. Tak banyak yang mereka pinta: cukup janji yang ditepati, cukup ladang yang tak dilupakan, cukup tanah yang tetap setia memberi kehidupan, meski di bawah terik yang tak kenal ampun.

Maka hari ini, dengan suara yang tidak meninggi dan hati yang tak lagi gamang, kita bisikkan: negara tengah belajar menebus hutangnya sendiri—hutang pada sawah yang sunyi, pada cangkul yang tiap pagi bangkit tanpa aba-aba. Belum semua luka dijahit, namun tangan negara mulai menggapai yang terpinggirkan. Jika benar jalannya, kita tautkan doa-doa dalam diam di sela kerja. Jika keliru, kita luruskan—bukan dengan benci, tapi dengan keberanian yang dibungkus kasih.

Sebab bangsa ini bukan hanya milik investor yang menjejak sebentar lalu hilang, meninggalkan tanah kering dan janji yang tak pernah tumbuh. Bukan hanya milik partai yang sibuk berkampanye di atas punggung petani yang jarang diundang bicara. Bukan milik pejabat yang menulis kebijakan tanpa pernah mencium bau tanah basah selepas hujan.

Bangsa ini adalah milik mereka yang menanam—dengan lutut berlumpur dan punggung basah oleh kesetiaan.

Selama pupuk tak hanya jadi wacana di ruang rapat, selama tanah tak dipaksa bungkam oleh beton dan birokrasi, selama petani masih disapa oleh negaranya—maka bangsa ini, meski diterpa ribuan musim duka, akan tetap berdiri.

Sebab kita dilahirkan dari tanah, dibesarkan oleh tangan-tangan yang tak dikenal sejarah, namun di sanalah akar kita bersarang. Dan tanah—dengan segenap diamnya yang sabar—tak pernah mengingkari kehidupan.

Pos terkait