Buku Harian Fery Santoro; Mengenang 20 Tahun Silam, 325 hari Menjadi Sandera
Purworejo – Tidak mudah ternyata menjadi seorang jurnalis, karena harus bisa paham situasi, kondisi dan lebih jeli terhadap apa yang sedang terjadi, apalagi bila sang jurnalis di tugaskan di daerah konflik, nyawa taruhannya.
Saya (Fery Santoro) disini ingin sedikit berbagi cerita, mengenang 20 tahun silam, saat saya tugas di stasiun tv swasta RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia).
Waktu itu, tahun 2003. Saya saat itu sebagai cameraman news RCTI ditugaskan oleh kantor untuk meliput di daerah konflik di Banda Aceh, saat itu tengah bergejolak pertempuran antara TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka).
Buat saya, tugas pertama kali di Aceh tersebut sangat menyenangkan, karena baru pertama kali menginjakan kaki di kota yang dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah. Namun, rasa was-was pasti ada, karena Aceh lagi bergejolak.
Dengan tekad yang bulat dan juga ijin keluarga, saya berangkat lah ke Aceh bersama tim.
buat saya itu suatu pengalaman yang sangat berarti.
Selama seminggu liputan di Banda Aceh saya selalu ber partner dgn reporter senior RCTI Ersa Siregar. Liputan terakhir kami mengarah ke daerah Langsa untuk meliput pengungsian dan pos TNI AL (Angkatan Laut) di Langsa, Lhokseumawe.
Dalam perjalanan pulang menuju Lhokseumawe ada perasaan kurang tenang dalam hati saya, karena sepi sunyi tanpa ada yang melintas satupun. “Jalan hitam” istilah mereka, kalau kita bilang jalan provinsi.
Perasaan (tidak tenang) itu ternyata benar benar terjadi, saat kendaraan berjalan dengan kecepatan 80 KM/ jam tiba-tiba kami dihadang oleh sekelompok orang bersenjata, mereka keluar dari semak-semak.
Ccccc…..ttt!!! (bunyi ban direm menggesek jalan) Rahmad Syah, sopir RCTI tiba-tiba injak pedal rem mendadak, “Ya Allah, ada apa ini?, “ saya bertanya panik.
Belum terjawab pertanyaan saya, pintu dibuka secara paksa dan sopir disuruh turun oleh kawanan bersenjata, kemudi diambil alih.
Gerombolan itu ada 6 orang, masuk semua ke mobil sambil todongkan pistol.
“Semua, nunduk kepala!!” teriak mereka.
Hati saya campur aduk, takut mati, karena saat menunduk itu, saya masih tersadar pistol diarahkan ke kepala saya.
Saya berpikir, jangan-jangan ini GAM.
Saya dan bang Ersa serta lain nya dibawa ke tengah kampung jauh.
“Kamu dari mana!?” bentak salah satu anggota kelompok bersenjata, “Saya dari Jawa “ jawab saya sambil lemas badan.
“Wah Jawa, besok pagi mati nih. Kompeni nih.” “Pasti Pai (TNI.red) itu. Mata-mata tentara,” teriak mereka bersahutan.
Mendengar ancaman itu, saya hanya bisa pasrah.
Berbekal kamera besar di tangan, kelompok bersenjata itu percaya kalau kami wartawan.
Di tempat lain, Panglima Perang GAM, Teuku Ishak Daud meminta bawahannya untuk merawat dan menjaga keselamatan kami. Mendengar itu, Ersa dan saya mengaku lega. Tapi, hidup dalam penyanderaan baru saja dimulai.
“Kami selalu pindah-pindah demi hindari kejaran TNI. Kalau dirasa tidak aman, kami harus lewati semak, seberangi sungai dan hutan belantara,”
Tidur beralaskan tikar, berbaring di samping macan kumbang harus kami lalui. Beruntung, tidak ada hewan buas yang menyerang kami.
“Bahkan orang GAM menanawarkan kami tidur di alas ular itu. Sempat bergidik sih, tapi dia bilang jangan takut. Ternyata tidak apa-apa,”
Negosiasi Buntu, Malam Tragis Bagi Ersa
Di luar sana, sejumlah LSM, organisasi pers hingga palang merah internasional meminta agar saya dan Ersa Siregar dibebaskan.
Hampir setahun lamanya, negosiasi pembebasan antara pemerintah Indonesia dan GAM selalu mengalami deadlock. Hingga ada suatu kesepakatan yang kami dengar melalui siaran radio local. Saya senang karena akan segera mendapatkan kebebasan. Sebuah impian selama berbulan-bulan untuk kembali berkumpul bersama istri dan anak pun mengalir deras dalam pikiran.
Tapi, mimpi itu kembali tertunda.
Malam hari menjelang tewasnya Ersa, beberapa anggota GAM memutuskan turun gunung. Tak lupa, mereka meninggalkan empat pucuk senjata. Bahkan, menawari kami berdua memegang senapan tersebut, tapi ditolak sama saya.
“Kalau bisa gunakan senjata, pasti kami sudah tembak kalian,” canda saya saat itu.
Sepeninggal mereka, saya hanya dijaga seorang anggota GAM. Saya, bang Ersa dan seorang pria berusia lebih tua dari kami itu memilih beristirahat di dalam gubuk.
“Tiba-tiba ada tembakan. Dar-der-dor, rentetan tembakan dari semak-semak. Orang GAM yang sedang memasak diluar tewas kena tembakan,”
Tanpa pikir panjang, saya mencari cara untuk menyelamatkan diri dari desingan peluru. Sebuah lompatan kecil berhasil menyelamatkan nyawa saya dari tembakan yang mengarah ke kaki. Di tengah ketakutan, saya masih berupaya menyelamatkan rekannya, namun gagal
Ada tembakan di atas saya. Saya lompat, masuk ke semak,
“Mana banyak duri, hingga badan saya penuh darah,”
Saya berhasil selamat dari serangan itu dan memilih bermalam di sebuah tempat.
Di sana, saya bertemu seorang pria yang sebelumnya bersama di gubuk. Sedangkan Ersa, rekan saya tak kunjung datang.
“Selama empat hari empat malam. Saya jalan mencari perkampungan. Mana harus lewati empat sungai.”
Sesampainya di kampung itu, bukan TNI yang ditemui, tapi anggota GAM lainnya, alhasil saya kembali menjadi sandera. Di tempat itu pula, saya mengetahui rekan saya (Ersa Siregar) telah tewas.
“Lemas badan saya. Saya bingung mau sama siapa lagi? Rekan saya sudah meninggal, tidak ada lagi yang temani saya,”
Jelang malam tahun baru 2004, saya akhirnya dibebaskan berkat upaya diplomasi yang dilakukan organisasi pers dan palang merah internasional.
Sesaat setelah keluar, saya hampir tak mengenali orang-orang terdekat, kecuali anak dan istri.
“Pengalaman mendebarkan itu terus terkenang.”
Cerita ini kutulis kembali seperti dalam buku harian semasa disandera, dokumen yang hingga kini disita Mabes TNI. (Ferry Santoro)