BUDAYA HARGA DIRI

Oleh : Idat Mustari*

Setiap bangsa, masyarakat memiliki budaya yang berbeda satu sama lainnya. Nama sebagai produk budaya  bisa menunjukan berasal dari suku mana orang itu berasal. Jika ada orang bernama Asep pasti itu orang Sunda, Sahrono itu orang Jawa, Wayan itu orang Bali, Hutabarat itu orang Batak.  Ditataran Internasional, jika ada yang bernama Putin itu dari Rusia, Tanaka dari jepang.

Kebudayaan pada dasarnya memiliki unsur-unsur seperti sistem religi, sistem organisasi, sistem sosial, sistem nilai, seni hingga bahasa yang berbeda-beda satu sama lainnya.

Budaya tanggung jawab, harga diri, integritas pun berbeda di setiap negara. Di beberapa negara, seorang pejabat yang merasa gagal menjalankan tugasnya sudah biasa mengundurkan diri. Di Jerman. Perdana menteri mundur karena tersangkut skandal kredit rumah berbunga ringan yang didapat dari keluarga pengusaha–mendapat diskon khusus ketika membeli rumah.
Di  Inggris, baru-baru ini,  Liz Truss yang baru memegang kekuasaan sebagai Perdana Menteri Inggris selama 45 hari, mengumumkan pengunduran dirinya, yang konon karena dianggap gagal dan kredibel sehingga perekonomian Inggris terus memburuk, menjadi pangkal utama semakin banyaknya pihak menuntutnya untuk mundur bahkan dari internal Partai Konservatif yang dipimpinnya.

Lantas bagaimana di Negeri kita ?. Tentu sangat jarang bahkan sulit terjadi ada seorang pejabat yang dengan suka rela melepas kedudukannya karena sadar telah gagal menjalankan tugas. Di negeri ini pejabat tenang-tenang saja dan mampu berkelit meskipun sudah jelas gagal dalam menjalankan tugasnya. Berbagai usulan bahkan tekanan untuk mundur diabaikan, hanya dianggap angin lalu. Sulitnya mundur disebabkan untuk memperoleh kursi kekuasan, kedudukan tidak dengan gratis alias dengan pengorbanan duit ratusan-miliaran rupiah. Kalau pun ada yang mundur dari jabatannya karena dimundurkan alias diganti atau sudah memakai baju orange oleh KPK.

Entah kapan di negeri ini terjadi ada pejabat yang dengan berdiri tegak menyatakan mundur, akibat merasa gagal dalam menjalankan tugasnya mensejahterakan rakyat. Entah kapan di negeri ini akan lahir sosok-sosok pejabat yang berintegritas tinggi, yang duduk di kursi kekuasaan karena ingin berbuat lebih banyak untuk rakyat, yang tahu diri jika tidak mampu bekerja dan memberikan kontribusi untuk kepentingan rakyat. Atau memang di sini tidak ada budaya yang mengajarkan itu seperti di Jepang.

Berbiacara Negeri Matahari Terbit (Jepang) jadi teringat cerita Bambang Suryadi, Ph.D. Saat seorang dosen psikologi kepribadian sedang menjelaskan perbedaan kepribadian antara orang Jepang dan orang Indonesia.

Setelah menerangkan banyak hal, dosen akhirnya bertanya: “Apa perbedaan antara orang Jepang dan Indonesia saat bunuh diri?”

“Kalau orang Jepang bunuh diri disebut hara-kiri. Kalau orang Indonesia bunuh diri disebut tewas, sahut seorang mahasiswa.

“Boleh, tapi bukan itu yang saya maksud.”

“Apa Pak?”

Dosen itu menjawab,”Orang Jepang bunuh diri karena menjaga
martabat diri. Tetapi kalau orang Indonesia bunuh diri karena
frustasi dan putus asa.”

*Pemerhati Sosial, Agama dan Advokat

Pos terkait