*JAKARTA* – Ketua MPR RI dan Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menyampaikan diskusi hangat pimpinan MPR RI dengan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono terkait agenda kebangsaan ke depan termasuk sistem politik dan kondisi demokrasi. Perlu evaluasi dan koreksi sepanjang untuk memperbaiki masa depan Indonesia. Termasuk, apakah kehidupan demokrasi Indonesia saat ini sudah berada di dalam track yang benar atau sebaliknya.
“Salah satu hasil silaturahmi kebangsaan yang di lakukan pimpinan MPR kepada para tokoh bangsa dan ketua partai politik, semuanya mengeluhkan pelaksanaan pemilu yang sangat sarat money politic dan berbiaya sangat tinggi. Bahkan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono menilai biaya politik semakin mahal. Karena itulah perlu dilakukan perbakikan,” ujar Bamsoet usai Silaturahmi Kebangsaan Pimpinan MPR dengan Pengurus DPP Partai Demokrat di Jakarta, Selasa (16/7/24).
Hadir antara lain Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid, Syarifuddin Hasan, Hidayat Nur Wahid dan Amir Uskara. Sementara Pengurus Partai Demokrat hadir Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono, Sekjen Teuku Riefky Harsya, Bendahara Umum Renville Antonio, Waketum Benny K Harman, Wasekjen Jovan Latuconsina dan Kepala BPOKK Herman Khaeron.
Ketua DPR RI ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 bidang Hukum & Keamanan ini menjelaskan, perbaikan sistem Pemilu diharapkan bisa dilaksanakan dan diselesaikan pada awal pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka. Beberapa perbaikan dan penyempurnaan tersebut selain mengenai sistem Pemilu juga sebaiknya pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) dilaksanakan secara terpisah.
“Mas AHY tadi mengusulkan agar pelaksanaan Pileg dan Pilpres jangan dilakukan serentak. Pelaksanan Pileg harus dilakukan sebelum Pilpres. Sehingga yang dijadikan acuan dalam mengajukan pasangan Capres adalah hasil Pileg terbaru dengan mengikuti dinamika politik yang ada. Pada Pilres 2024 yang baru kita lalui bersama, acuan pengajuan pasangan Capres adalah hasil Pileg lima tahun sebelumnya, yaitu tahun 2019, sehingga dinilai sudah tidak up to date,” kata Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI (Ormas Pendiri Partai Golkar) dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini menerangkan, sistem demokrasi pemilihan langsung yang mengakibatkan maraknya politik uang juga perlu dievaluasi kembali. Negara harus menilai apakah demokrasi saat ini lebih banyak manfaat atau malah mudarat bagi masyarakat.
“Sistem demokrasi langsung yang saat ini berlaku sudah memungkinkan terjadinya demokrasi transaksional dan salah satu faktor terpilihnya seorang pemimpin justru berdasarkan modal biaya dibandingkan dengan faktor lainnya. Harapan saya agar pemimpin kita lahir karena integritas dan kapasitas. Bukan karena isi tas nya,” urai Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini menambahkan, pemerintah juga perlu hadir untuk memberikan pendanaan yang layak bagi partai politik. Pendanaan negara kepada parpol penting karena parpol merupakan salah satu institusi demokrasi yang penting dan strategis, karena memiliki fungsi, tugas dan tanggungjawab melakukan rekrutmen politik.
Saat ini berdasarkan PP Nomor 1 Tahun 2018, negara hanya bisa memberikan bantuan pendanaan kepada partai politik sebesar Rp 1.000 per suara sah. Jumlah tersebut sangat kecil untuk pendanaan partai politik. Menurut hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan LIPI beberapa waktu lalu, idealnya negara membiayai partai politik sebesar Rp 10.000 per suara sah.
“Hasil kajian KPK dan LIPI tersebut sangat menarik untuk dielaborasi lebih jauh, sehingga partai politik tidak lagi terjebak dalam oligarki. Membersihkan partai politik dari torpedo oligarki kekuatan uang akan berefek pada kualitas pengambilan keputusan politik dalam melayani kepentingan rakyat yang lebih besar,” pungkas Bamsoet. (*)