Alam: Titik Temu Sejarah dan Masa Depan

Oleh: Arvindo Noviar

Negeri ini bukan hanya kumpulan pulau yang disatukan oleh kesepakatan geopolitik. Ia adalah seutas nyawa panjang yang berdenyut dari akar pohon di pedalaman Papua hingga hempasan ombak di Kepulauan Natuna. Ia adalah simfoni antara angin, air, cahaya, dan kesabaran manusia yang hidup dari tanahnya. Namun zaman telah lama melahirkan luka. Hutan yang dahulu tempat bernaung kini menjadi halaman pasar ekspor. Laut yang pernah menjadi kitab hidup para nelayan kini berubah menjadi industri rakus yang tak mengenal batas.

Dalam dua dekade terakhir, Indonesia kehilangan lebih dari 9,7 juta hektar hutan (FAO, 2020). Angka ini bukan sekadar statistik—ia adalah nama-nama pohon yang punah, desa yang mengering, dan makhluk-makhluk kecil yang kehilangan habitatnya. Ini adalah tangisan bumi yang tidak terdengar karena tertutup suara mesin dan debat para pemilik modal.

Namun, sejarah tidak selalu bergerak ke jurang. Ia bisa dibelokkan oleh kehendak politik dan kebijaksanaan. Pemerintah yang kini memegang tongkat kendali berbicara bukan hanya dengan suara, tetapi dengan kebijakan: ekonomi hijau dan biru sebagai jalan baru pembangunan. Bukan sekadar untuk meredam krisis iklim global, tapi untuk menjahit kembali kehormatan kita di hadapan tanah dan laut yang telah kita lukai.

Dalam tubuh ekonomi hijau, terdapat jantung berupa reforestasi nasional: penanaman kembali hutan di lahan-lahan kritis yang selama ini menjadi sumber longsor, kekeringan, dan kebakaran. Pemerintah telah menargetkan rehabilitasi 600 ribu hektar per tahun hingga 2029, sebagai bagian dari komitmen pengurangan emisi 31,89% secara mandiri, dan hingga 43,2% dengan dukungan internasional (Updated NDC, 2022).

Tetapi ekonomi hijau bukan hanya soal menanam. Ia adalah tentang bagaimana kita membangun sistem pangan yang tidak merusak. Agroforestri—sistem pertanian yang memadukan pohon, tanaman pangan, dan ternak dalam satu bentang alam—dikembangkan di lebih dari 50 kabupaten rawan krisis iklim. Sistem ini bukan saja menjaga produktivitas tanah, tapi juga menumbuhkan ketahanan pangan, pendapatan, dan pengetahuan lokal.

Energi menjadi batang tubuh dari ekonomi hijau yang sejati. Pemerintah kini sedang membangun 27 kawasan industri hijau, termasuk Kawasan Industri Hijau Kalimantan Utara (KIH KU) seluas 13.000 hektar. Kawasan ini akan mengandalkan energi dari PLTA Mentarang dan panel surya masif untuk menggantikan bahan bakar fosil. Di luar kawasan industri, lebih dari 13 juta rumah tangga ditargetkan menggunakan energi terbarukan secara langsung melalui program PLTS atap, mikrohidro, dan biogas keluarga.

Transportasi ramah lingkungan dipacu melalui insentif kendaraan listrik. Bukan hanya untuk masyarakat kota, tetapi dirancang untuk menyentuh angkutan pedesaan dan kendaraan kerja sektor pertanian. Bahkan sepeda motor listrik untuk nelayan dan petani tengah dikembangkan agar roda hijau bisa sampai ke pinggiran.

Sementara itu, laut tidak hanya dipandang sebagai ruang eksploitatif. Ia adalah harta karun kebudayaan, jalur diplomasi, dan nadi ekonomi yang tak pernah putus. Indonesia dengan Zona Ekonomi Eksklusif seluas 6,4 juta km², menyimpan potensi ekonomi biru mencapai USD 1,33 triliun per tahun (BRIN, 2023). Tapi potensi ini ibarat harta karun yang tak akan pernah bisa dibuka jika masyarakat pesisir tetap miskin dan ekosistem laut tetap rusak.

Program rehabilitasi mangrove menjadi tulang punggung. Dengan target penanaman 600.000 hektar hingga 2025, mangrove Indonesia—yang mewakili 23% dari seluruh dunia—akan dijadikan benteng hidup menghadapi perubahan iklim, sekaligus laboratorium karbon biru dunia.

Budidaya laut atau marine aquaculture menjadi tumpuan ekonomi pesisir yang baru. Pemerintah membangun 130 kampung perikanan budidaya berbasis komoditas unggulan lokal: dari rumput laut di Nusa Tenggara, kerapu dan kakap di Sulawesi, hingga kepiting bakau di Kalimantan. Sistemnya berbasis ekosistem dan teknologi: keramba jaring apung pintar, pakan alami, dan koneksi digital antara nelayan dan pasar.

Ekonomi biru juga membuka ruang inovasi melalui pelabuhan perikanan modern, cold storage bertenaga surya, dan digitalisasi sistem logistik hasil tangkap. Program Fish Market Digital memungkinkan nelayan kecil menjual hasil lautnya secara langsung ke pasar besar, tanpa dipangkas tengkulak.

Konservasi laut diperluas. Kawasan konservasi perairan akan ditingkatkan dari 10% menjadi 30% pada 2045. Di sinilah laut dipeluk, bukan dijarah. Di sinilah ikan, terumbu, dan biota laut diberikan ruang untuk pulih, tumbuh, dan menjaga keseimbangan kehidupan.

Ekonomi hijau dan biru bukan hanya proyek lingkungan. Ia adalah strategi geopolitik. Indonesia, sebagai negara tropis dengan ekosistem terbesar di dunia, menjadi titik krusial dalam negosiasi perubahan iklim global. Dunia takkan bisa memenuhi target suhu 1,5°C tanpa kontribusi karbon hijau dan biru dari Indonesia.

Dengan menjadikan energi terbarukan dan karbon biru sebagai kekuatan, Indonesia dapat memimpin transisi global. Diplomasi hijau menjadi poros baru hubungan luar negeri. Melalui inisiatif seperti Archipelagic and Island States Forum, Indonesia memperkuat solidaritas negara kepulauan, membangun kerja sama kelautan dan perubahan iklim yang strategis.

Dalam sektor energi, ketergantungan negara lain pada logam tanah jarang (rare earth), nikel, dan bauksit yang kita miliki—semua dibutuhkan untuk baterai dan turbin angin—menjadikan kita pemain utama dalam rantai pasok global. Tapi kini bukan hanya soal menjual bahan mentah, melainkan membangun pusat produksi baterai nasional yang ramah lingkungan, dari hilir hingga hulu.

Dengan pendekatan ini, Indonesia tidak hanya mencetak pertumbuhan, tapi meneguhkan dirinya sebagai kekuatan baru yang mampu menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan kelestarian. Dunia akan memandang negeri ini bukan hanya sebagai pemasok bahan baku, tetapi sebagai penentu arah zaman.

Hari ini kita berdiri di antara arus sejarah: di satu sisi gelombang kemajuan, di sisi lain jurang kehancuran ekologis. Pemerintah kini membawa obor baru yang bernama ekonomi hijau dan biru. Bukan jalan mudah. Tapi ia adalah jalan pulang. Pulang ke tanah yang rindang dan laut yang tenang. Pulang ke rumah yang selama ini kita tinggalkan demi mimpi-mimpi semu.

Semua ini bukan utopia. Ia sedang dibangun, ditanam, digali, dan ditulis. Dalam peta-peta baru, dalam kebijakan yang mulai bergulir, dalam tangan-tangan rakyat yang kini diajak menjadi pelaku utama pembangunan. Ekonomi yang tak hanya tumbuh, tapi berakar. Negara yang tak hanya kuat, tapi luhur.

Ekonomi hijau dan biru bukan sekadar rencana, melainkan janji suci menjaga napas hutan, angin, dan laut yang menghidupi kita semua. Di tengah dunia yang terburu-buru menjarah, kita memilih menjadi pelindung sunyi, merawat alam dengan hati yang tulus dan tangan yang bijak. Cinta tanah air terpatri bukan pada kata-kata semu, tapi dalam langkah yang menjaga jiwa bangsa agar tumbuh kuat, hidup berdampingan dengan bumi, dan bermartabat di bawah langit yang sama.

Laut yang menanti hijau adalah laut yang menanti kita pulang. Bukan sebagai penjarah, tetapi sebagai penjaga. Sebagai anak-anak tanah yang tahu cara menyembuhkan luka ibunya. Dan semoga, dalam nafas panjang sejarah, nama Indonesia kembali ditulis bukan karena gunung emasnya, tetapi karena keberaniannya menjaga bumi.

Pos terkait