Ahli Hukum Pidana Pertanyakan Dasar PPNS KLHK Melakukan Penahanan

JAKARTA, Suarakita.id – Ahli Hukum Pidana Dr Houtlan Napitupulu, SH,MM,MH ketika menjadi saksi ahli dalam persidangan kasus praperadilan PPNS dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI inisial A.Y menyatakan apa yang menjadi dasar sehingga Inisial A.Y melakukan penetapan tersangka dan penahanan General Manager (GM) PT Sawit Inti Prima Perkasa (SIIPP).

Diketahui bahwa PT SIPP yang disangkakan melakukan pencemaran lingkungan sesuai UU No. 32 Tahun 2009, telah dikenakan sangsi Administrasi oleh Bupati Bengkalis berupa denda sebesar 101 juta rupiah dan sudah dibayarkan PT SIPP kepada Ka. Bagian Hukum dan Kadis Lingkungan Hidup Pemda Bengkalis.

Bukankah dalam pasal 76 KUHP telah dijelaskan bahwa satu kasus yang sama jika sudah ditetapkan secara hukum, tidak bisa diulangi, atau azas ne bis in idem, kata Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Bung Karno Jakarta, Dr Houtlan Napitupulu, SH, MH dihadapan Awak Media, di depan PN Jakarta Pusat. Rabu (13/07).

Kasus praperadilan di Pengadilan Negeri Kelas 1 A Jakarta pusat, dengan Hakim tunggal Panji Surono, SH, MH merupakan praperadilan nomor 08/Pid.Pra/2022/ PN.JKT.PST yang dimohonkan Bambang Sri Pujo SH, MH, Helmi Damanik SH, dan Rizal Noor SH selaku kuasa hukum Agus Nugroho dan Erik Kurniawan.

Pada sidang ketiga ini Bambang Sri Pujo SH, MH, dkk menghadirkan dua saksi ahli, masing masing seorang Ahli Lingkungan dan seorang ahli pidana Dr Houtlan Napitupulu SH, MM, MH yang menjelaskan tentang sangkaan yang yang dikenakan kepada PT SIPP, bertentangan dengan Undang undang no. 32 tahun 2009 dan PP No. 5 tahun 2021 serta PP No. 22 tahun 2021.

Misalnya yang disangkakan oleh PPNS inisial A.Y dari KLHK bahwa managemen PT SIPP dikenakan pasal no 98 UU no 32 tahun 2009 yang berisikan pencemaran lingkungan yang disengaja, mana alat buktinya, karena sesuai pasal 184 KUHAP bahwa alat buktinya, ada keterangan saksi, keterangan ahli, Surat2, petunjuk lain seperti hasil Lab yang berkopetensi standar SNI.

Bukankah sesuai pasal 100 UU No 32 tahun 2009 jika sangsi Administrasi atas sangkaan pencemaran lingkungan telah di terapkan dan dibayarkan PT SIPP, maka sangsi lain tidak boleh dilaksanakan.

Ingat penerapan dan penjatuhan hukum pidana di Indonesia harus dilakukan sebagai upaya pilihan yang paling akhir (Ultimum Remedium), dan bahkan sekarang ini dikenal Restoratif Justice (Penyelesaian perkara diluar pengadilan) sudah disosialisasikan penerapannya oleh Kejaksaan Agung RI, dan lihat peraturan Jaksa Agung, tegas Houtlan kepada awak Media. (*)

Pos terkait