Mi6 : Black Campaign di Era Tehnologi 4.0 Kurang Efektif Memframing Citra Lawan Politik

 

Mataram NTB/Suarakita.id – Meningkatnya kesadaran politik rakyat dibarengi mudahnya memperoleh informasi alternatif untuk validasi isu, sehingga Kampanye Hitam menjadi tidak efektif lagi sebagai sarana untuk Memframing citra lawan politik di era kemajuan Tehnologi 4.0.

Politik Asimetris Black Campaign yang di push memanfaatkan beragam platform Media dan Medsos akan menjadi blunder dalam persepsi publik, manakala isu yang di graber secara simultan tidak disertai data maupun fakta tidak benar dan hoax.

“Memblow up isu lewat skema black campaign yang hanya berdasarkan asumsi semata justru bisa menjadi sarana Infotainment gratis menaikkan citra lawan politik di persepsi publik,” Dikata Bambang Mei Finarwanto, SH., alias Didu selaku Direktur Lembaga Kajian Sosial dan Politik Mi6 kepada Media pada hari Minggu tanggal 23 Oktober 2022.

Lelaki yang akrab disapa Didu juga mengatakan, bahwa dalam situasi keterbukaan informasi dan demokratisasi seperti saat ini, gerakan kampanye hitam hanya menjadi sarana sales promotion gratis yang membesar besarkan citra baik lawan politik. Dan hal ini bisa terjadi jika desaign kampanye politik hitam itu Tendensius.

Dimana kesalahan fatal memakai strategi politik hitam itu ketika menstigma publik mudah hanyut dan terpesona oleh berbagai kecanggihan platform media yang dipakai mendelegitimasi citra lawan politik. Padahal makin kesini publik makin cerdas dalam memilih dan memilah berbagai informasi lewat satu klik yakni “Mbah Google” sebagai sarana validasi informasi terkini,” ujar Didu.

Selain itu terkait gerakan kampanye politik beberapa dekade sebelumnya mungkin bisa jadi efektif, jika dilakukan secara manual disaat publik tidak memiliki informasi penyeimbang, karena tehnologi digital yang belum berkembang pesat.

“Kesalahan taktik Politik Kampanye Hitam berawal ketika muncul asumsi subyektif yang mengira publik mudah digiring persepsinya. Ibarat marketing product kampanye hitam yang dilakukan oleh oknum yang diduga tidak diimbangi dengan melakukan mapping, maka terjadilah kecendrungan konsumen politiknya diberbagai strata,” jelasnya.

Mantan Direktur Walhi NTB menggaris bawahi yang perlu disadari saat ini terkait adanya disparitas antar generasi milenial, generasi Z dan Alpha yang memiliki cara berpikir dan dimensi yang berbeda atau berbanding terbalik dengan generasi sebelumnya dalam mengendors maupun menyikapi momentum tertentu.

Sebagai Ilustrasi saat ini dikalangan anak muda lagi trend istilah FWB (Friend With Benefit) yang mencerminkan relasi simbiosis mutualisme seperti pertemanan yang saling memberikan manfaat. Sementara dalam politik , pertemanan cenderung bersifat interest dan ideologis yang tidak sepragmatis seperti FWB.

“Perlu disadari pula keberterimaan dan bisa cair di generasi era saat ini tentu butuh penyesuaian dan persiapan sosial yang tidak mudah. Mengingat mereka memiliki sekat ruang privasi yang eksklusif pada diminat dan kesukaan yang sama yang kerap berjarak dengan realitas sosial kekinian, termasuk urusan Politik,” tegasnya.(Ds)

Pos terkait